latest Post

Jangan Abaikan Perasaan Anak Anda

perhatikan anak anda

“Diaaam! Diam, mama bilang! Cengeng banget, sih, gak berenti-berenti nangis dari tadi.. Kalau mama sudah gak sabar nanti mama pukul kamu!“

“Tau kenapa mama gak suka sama kamu? Kalau nangis lama, dibilangin gak denger, gak kayak adikmu! Paham?” Ujar Bu Tini pada anak sulungnya yang berusia 5.5 tahun sambil mendorong kepala anaknya.

Terkesan familiar?

Bukan hanya Bu Tini, tapi banyak juga ibu-ibu lain yang sering sekali merasa tak mampu mengendalikan emosi ketika menghadapi anak-anaknya, tanpa tahu mengapa mereka merasakan seperti itu. Umumnya bila sudah marah panjang lebar bahkan melengkapinya dengan noyor kepala seperti yang dilakukan Bu Tini, ada juga dengan mencubit bahkan memukul, mereka umumnya menyesal bahkan gak jarang menangis di kamar tidur nya. Apalagi kalau sudah malam, semua sudah tenang dan dia mengamati atau memandangi anaknya yang pulas tertidur dan nampak benar keluguan dan kepolosannya.

“Ya Allah kenapa aku marahi dan pukuli anakku, ya Allah...”, keluhnya sambil menciumi anaknya sementara air mata terus berurai. Penyesalan tak pernah datang diawal.

Beginilah jadinya bila tak ada persiapan.

Umumnya, jarang sekali ayah dan ibu memiliki kesiapan atau dipersiapkan oleh orangtuanya untuk menjadi orangtua. Kalau dulu, ketika beban pelajaran belum seberat sekarang dan jam belajar belum lebih dari 8 jam sehari, anak anak masih punya kesempatan untuk bersama dengan anggota keluarga di rumah. Sehingga kalau tidak terlibat dalam membantu kakak atau tantenya yang punya anak kecil, anak anak masih biasa dimintai tolong untuk membantu mengasuh atau menolong adiknya.

Tapi situasi kini jauh berubah. Anak-anak disekolahkan pada usia yang lebih dini, mata pelajaran yang padat, jam belajar yang panjang dan tugas yang luarbiasa banyak. Saat mereka pulang, tentu saja mereka telah lelah jiwa raga. Main games, nonton TV, kerjakan tugas lalu tidur. Jarang ada kesempatan untuk dialog dan bercengkerama bersama keluarga. Apalagi kalau kedua orangtua bekerja pula dan pulang selalu lebih telat dari waktu anak tiba di rumah. Bayangkan!

Tiba-tiba, tak terasa anak sudah lulus sekolah menengah, mahasiswa atau sudah jadi sarjana dan waktu menikah pun tiba. Dari mana ada persiapan menjadi suami istri, apalagi ibu dan ayah? Tahu-tahu punya anak saja. Karena kurang pengetahuan, sengaja atau kesundulan: ada dua balita dalam keluarga. Wah!

Apa yang paling hilang dari pengasuhan seperti yang diuraikan diatas adalah kesempatan untuk mendengarkan perasaan anak. Andainya saja orang tua tahu, bagaimana pentingnya perasaan itu perlu didengarkan, mereka akan berjuang untuk punya waktu dan berdialog dan membicarakan soal “rasa “ dengan anaknya.

Bisakah anda bayangkan, apa jadinya dengan anak Bu Tini di atas yang sejak usia balita ibunya suka berteriak, marah, memerintah (Diam!), mencap (cengeng banget), mengancam (mama pukul nanti), menyalahkan (gak suka sama kamu, gak denger), membandingkan (gak kayak adikmu)??

Apakah cara pengasuhan seperti ini, memungkinkan bagi orang tuanya untuk menunjukkan perhatian dan memperdulikan perasaan anaknya? Kemana anak ini akan membawa atau mengadukan derita rasa atau jiwanya kalau orang tuanya terus menerus menggunakan cara pengasuhan seperti itu?

Itu baru sekali! biasanya berapa kali dalam sehari? Dan sudah berlangsung berapa lama? Itu anak siapa ya?

Jadi bagaimana, ya, kalau kelak dia jadi ibu atau ayah pula? Bila orang tuanya terbiasa marah seperti itu, tidakkah anak ini akan mengulang semua apa yang dia terima ini dengan OTOMATIS terhadap anaknya pula nanti?

Berkata seorang ahli, “Hati hati mengasuh anakmu. Perbaiki pola pengasuhanmu sebelum anakmu baligh. Karena engkau sedang salah mengasuh cucumu!”

Bagaimana mungkin?

Bagaimana mungkin merubah cara mengasuh, kalau kita:
1. Tidak menyadari bahwa pola asuh yang kita lakukan adalah pengulangan otomatis dari apa yang kita terima dari orangtua kita dulu dan belum mampu memutus mata rantainya.
2. Tidak mengenali pola asuh yang dialami oleh pasangan kita, mengapa dia suka bersikap dan memiliki cara pengasuhan bahkan cara berfikir yang berbeda dengan kita? Mengenali dan menyesuaikan diri dengan semua perbedaan itu tidaklah mudah, biasanya memerlukan waktu 5-10 tahun. Tergantung bisa didialogkan dan mau mencari pertolongan ahli atau tidak, bisa dicari titik temu atau tidak. Sementara anak nambah terus. Marah kepada pasangan, biasanya malah anak yang jadi korban. Iya, kan ?
3. Apalagi kalau pernikahan itu sudah bermasalah dari awal, tidak disetujui kedua belah pihak, atau hanya sebelah saja, ada kesalahan dilakukan sebelum perkawinan yang menimbukan penolakan dari salah satu keluarga atau anggotanya.
4. Tidak mengerti sama sekali tahapan perkembangan dan tugas perkembangan anak: usia sekian anak harusnya sudah mampu melakukan apa dan bagaimana merangsangnya.
5. Tidak faham bahwa bahwa otak anak ketika lahir belum bersambungan dengan sempurna, sehingga kemampuannya terbatas, dan banyak hal mereka belum mengerti. Begitu sambungan mencapai trilliunan pada usia 2,5 tahun, baru anak mulai belajar menunjukkan dirinya. Tapi ketidakpahaman membuat orang tua, justru mematahkan semangat anak dan tidak memberinya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dengan sering menjadi ayah atau mama “sini”: "Sini mama bantuin", "Sini ayah tolongin…"
6. Begitu anak sudah berusia 4 tahun, mulai bisa berpura-pura dan berkhayal, malah dikomentari: bohong, mengada ada, dll. Atau bila mereka memberikan pendapatnya, orangtua mengatakan, “dia sudah bisa membantah dan tidak patuh lagi“. Haduuuh…kasihannya, tuh anak!
7. Orang tua tidak tahu bahwa pusat perasaan ada di otak, berkembang lebih dulu dari pusat kognitifnya. Karena terburu-buru ingin anak jadi pintar dan masuk sekolah, usia dini sudah dileskan Calistung (baca, tulis, hitung), usia 6 tahun masuk SD. Kadang-kadang ini dilakukan karena di rumah sudah ada 2-3 adiknya!
8. BKKBN dan Kelompok Neuroscience Terapan pernah menyarankan agar sebisa mungkin dihindari untuk ada dua balita dalam keluarga, karena sangat mengonsumsi jiwa, pikiran dan tenaga ibu. Apalagi kalau kedua oang tua bekerja dan anak di-“subkontrakkan” kepada orang lain. Bayangkan apa jadinya dengan anak itu?

Jika anak saja tidak mendapatkan kesempatan untuk didengarkan perasaannya apalagi ibunya?

Mengapa fungsi berpikir ibu jadi terganggu?

Bagaimana tidak, kalau ibu mengalami semua 8 masalah diatas?

Seorang ahli mengatakan bahwa bila seseorang secara fisik sedang sangat lelah, maka emosi mudah naik, sehingga bagian berfikir diotaknya menjadi sempit dan fungsi berfikir terganggu. Kelakuan didominasi oleh emosi. Kesadaran dan penyesalan akan muncul belakangan setelah emosi reda, dan letih telah berkurang.

Katherine Ellison dalam bukunya The Mommy Brain, menceritakan hasil risetnya bertahun tahun, bahwa ibu yang baru melahirkan itu normal bila dua bulan pertama mengalami apa yang disebutnya “Amnesia keibuan, atau pikun kehamilan”. Hal ini terjadi karena terjadi kekacauan kimiawi saat hamil dan melahirkan, ditambah dengan adanya rasa sakit, kekurangan tidur, dan keharusan untuk belajar banyak hal sekaligus tentang mengurus bayi, diri sendiri, dan tetap memperhatikan lingkungan. Bila anda lengah sekejap saja, bisa menimbulkan akibat yang sangat mengerikan. Allison mengemukakan juga bahwa di Inggris keadaan ini disebut sebagai "Otak Bubur", di Australia: “Otak Plasenta”, dan “Otak mami” di Jepang. Bayangkanlah kalau di bulan ketiga ibu ini sudah hamil lagi…

Jadi untuk membantu agar ibu “tidak emosian”, maka dalam mengasuh anak anaknya, semua orang disekitarnya, terutama para ayah dan orangtua hendaknya mengerti akan 8 hal yang umumnya dihadapi oleh seorang ibu yang kemungkinan mengalami “amnesia atau pikun keibuan” sebagaimana dijelaskan diatas, dan jangan abaikan perasaannya.

Diatas segalanya, ibu itu sendiri harus mampu mengenali dirinya dan berupaya memahami sepenuhnya serta berdamai dengan masa lalunya dengan memaafkan semua yang terjadi. Selain itu ia harus berusaha mengerti apa yang terjadi dengan pasangannya dan orang disekitarnya. Jangan karena tak mau berdamai dengan sejarah hidup, kesal dengan orang sekitar (suami dan anggota keluarga), anak yang menjadi korban. Anak yang merasa tertekan, merasa tak dimengerti, dan tak didengarkan perasaannya, adalah bencana dihari tua dan akhirat anda.

Dari risetnya tentang otak para ibu, Allison menunjukkan bahwa dengan menjadi ibu, sevenarnya seorang wanita dapat menjadi lebih pintar dan cerdas dari apa yang kita pikirkan! Ada lima sifat otak yang dirangsang oleh kehadiran bayi anda: Persepsi, Efisiensi, Daya tahan, Motivasi, dan Kecerdasan emosi.

Jadi apalagi, dear ? Optimalkan Mommy Brain anda.

Selamat berjuang untuk menyelesaikan urusan dengan diri sendiri sebelum anda menyelesaikan urusan anak dan keluarga anda. Putuskan mata rantai itu. Mulailah dengan belajar mendengarkan dan menerima perasaan anak anda.

Selamat Berbahagia.

Penulis: Elly Risman
Editing: muslimfamilia
Recommended Posts × +

0 comments:

Post a Comment