INNER CHILD KU = MASALAH TERBESARKU?
By: Amalia Sinta
"Mbak Sin, aku udah baca teori parenting ini itu. Tapi kenapa aku masih gampang meledak-ledak ke anak ya? Padahal sebelum nikah, aku orang yang sabar. Sekarang anak bertingkah dikit, langsung aku bentak-bentak."
"Aku nyesel banget abis cubit paha anak sampe dia nangis kejer, mbak. Aku marah karena dia buang-buang makanan yang udah capek-capek ku masakin. Dia bilang gak suka menunya. Tapi aku terlanjur kesel jadi aku paksa dia makan. Aduuh, aku kok jadi kaya mamaku ya mbak, yang dulu suka maksa dan cubitin aku biar mau makan..
Hampir tiap malem aku ciumin anakku yang lagi tidur, mbak. Itu caraku minta maaf ke dia. Meski aku tau, itu gak bisa menghapus kesalahanku yang gak bisa nahan amarah dan suka hukum dia dikurung di kamar. Aku cuma pengen dia dengerin aku sebagai orang tuanya mba. Sebetulnya aku gak mau begitu. Karena aku tau rasanya gak enak banget, kaya yang dulu sering aku rasain saat dihukum ayahku."
Mengapa rasanya kita susah sekali untuk tidak marah ya? Padahal hanya untuk hal kecil. Seolah kata sabar hanya menjadi nasihat tanpa makna. Mengapa rasanya sulit sekali mengontrol emosi? Walau hanya untuk hal sepele. Seolah jawaban atas doa agar tak emosional tak kunjung datang.
Bunda, mungkin masalahnya bukan pada diri anak balita kita, yang memang sedang masanya bertingkah macam-macam. Mungkin masalahnya ada dalam diri kita sendiri. Mungkin inner child dalam diri kitalah yang bermasalah.
INNER CHILD adalah sosok anak kecil yang ada dalam diri kita saat ini. Inner child menyimpan memori dan emosi tertentu atas sebuah kejadian di masa kecil. Inner child bisa positif yaitu sosok anak kecil yang menyimpan memori dan emosi tentang kebahagiaan, misal rasa senang gembira saat piknik dan tertawa lepas di saat itu. Inner child bisa pula negatif, yaitu sosok anak kecil yang menyimpan memori dan emosi negatif, yang sering disebut inner child yang bermasalah.
Sosok inner child yang bermasalah ini bisa berupa anak di beberapa rentang usia, tergantung usia kita saat mengalami kejadiannya. Misal bisa berupa usia 3 tahun yang merasa kesepian karena tak mendapat cukup waktu, perhatian dan kasih sayang orangtuanya. Orangtuanya sibuk mencari harta, hingga lupa di rumah mereka punya harta paling berharga yang bernama anak.
Bisa berupa anak usia 4 tahun yang memendam kesedihan dan kekecewaan pada orangtua yang terasa tidak adil. Dia tak pernah paham, kenapa menjadi kakak harus selalu mengalah. Dia tidak mengerti, kenapa benar ataupun salah, dia harus dihukum dalam kamar mandi yang terkunci karena berantem dengan adiknya
Bisa berupa anak usia 5 tahun yang trauma atas bentakan dan pukulan dari ayahnya ataupun dibully teman sekolahnya. Si anak tak bisa mengerti, mengapa orangtuanya langsung berteriak marah saat melihat jam dinding sudah menunjuk ke angka tertentu. Dia harus segera memenuhi jadwalnya untuk mandi atau tidur, jika tidak, dia akan kena pukul. Orangtuanya tak mau peduli, bahwa dia hanya butuh waktu sedikit lagi menyelesaikan susunan lego yang sedang dirangkainya dengan susah payah. Ia tak pernah diberi kesempatan untuk berpendapat.
Dari kumpulan aneka peristiwa selama hidupnya ketika kecil, akan tercipta beberapa inner child yang bermasalah dalam diri seseorang.
Ketika sekarang kita mengalami peristiwa yang sama, meski posisi kita sudah berubah jadi ibu, memori akan membangunkan lagi inner child yang lama tertidur. Dia akan marah, sebagai wujud ekspresi emosinya yang dulu tertahan. Maka kita menjadi ibu yang pemarah. Yang sebenarnya kita marah pada orangtua kita dulu, namun melampiaskannya ke anak kita sekarang. Anak akan jadi korban emosi orangtuanya, persis seperti kita dulu.
Lalu bagaimana cara memutuskan mata rantai luka dan trauma masa kecil ini?
Berikut cara self healing yang bisa dilakukan sendiri untuk menyembuhkan inner child yang bermasalah :
1. Penerimaan
Cara pertama untuk berdamai dengan inner child adalah dengan menerimanya. Menerima bahwa iya, kita di masa lalu pernah jadi "korban", jadi anak yang dikasari, yang disakiti secara verbal ataupun fisik. Memang rasanya sungguh tidak enak. Rasa sedih, kecewa, marah, takut, kesepian, semua terasa menyesakkan dada. Tapi cobalah mengenali rasa itu lagi, terima bahwa kita memang pernah merasakannya.
Menyangkalnya berarti sama dengan menyangkal keberadaan si inner child dalam diri kita.
Bagaimana mungkin kita akan berusaha menyembuhkannya, bila kita tidak mau menerima keberadaannya?
Selama ini mungkin kita tidak menyadari kehadiran inner child dalam diri kita. Sering dianggap tidak ada, ataupun merasa sudah sembuh sendiri karena kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu dan terlupakan. Tapi sebenarnya, rasa sesak itu masih ada. Hanya saja mengendap dalam hati terdalam. Dan sebenarnya luka tersebut masih terbuka. Maka saat ada kejadian yang sama terulang, luka itu naik ke permukaan. Rasanya sungguh pedih perih saat tertetesi emosi yang sama. Dan bila saat itu tiba, ketika kejadian yang sama terulang, ketika anak kita melakukan suatu kesalahan yang sama dengan kita dulu, maka rasanya emosi dalam diri langsung ingin meledak.
2. Komunikasikan ke dalam
Bila terjadi hal demikian, segeralah jauhi anak. Jangan bereaksi apapun padanya. Karena hanya penyesalan yang akan didapat.
Masuk ke kamar, tutup pintu, pejamkan mata dan bicara ke dalam diri kita sendiri, lewat hati.
Ingat-ingat, apakah ada memory yang sama, kejadian yang sama seperti ini, saat kita kecil dulu?
Bayangkan inner child kita, panggil dia dan bicaralah dengannya. "Wahai diriku yang kecil, datanglah. Hadirlah, aku ingin menemuimu." Hati akan menuntun kita untuk menampilkan inner child sesuai masalahnya.
Jika masalahnya adalah kesepian, inner child kita bisa berupa sosok anak yang sedang duduk memeluk lutut di pojokan yang gelap. Jika masalahnya adalah kekerasan dan kurungan, inner child kita bisa berupa sosok anak yang tengah terisak menangis ketakutan dalam kamar mandi yang terkunci. Jika masalahnya adalah kemarahan, inner child kita bisa berupa sosok anak kecil yang sedang memukuli tembok hingga tanggannya luka dan berdarah.
Datangi perlahan, nyalakan lampunya. Belai lembut rambutnya. Katakan kau ingin menolongnya, menemaninya. Supaya dia gak sendirian. Katakan kau ingin mengobrol dengannya. Supaya dia gak kesepian.
Awalnya mungkin dia akan diam saja. Tapi teruslah tersenyum padanya. Raih kepercayaannya. Bila dia mulai mau membuka mulut, sapalah perlahan.
Kau : "Hai, apa yang lagi kamu rasakan?"
Inner child : "Dadaku sesak, jantungku berdebar, aku pusing."
Kau : "Oh, itu berarti kamu sedang marah. Marah sama siapa? Kenapa?"
Inner child : "Sama mama. Aku habis dimarahi mama. Aku pasti dimarahin kalo minta main sama mama. Mama gak mau nemenin aku main. Jadi aku selalu sendirian."
Kau : "Oh gitu... Mama kemana?"
Inner child : "Mama kadang kerja, kadang di rumah. Tapi kalau di rumah pun aku gak ditemenin. Selalu disuruh main sendiri. Mama di rumah masak terus, nyapu terus, nyuci terus...."
Kau : "Aduh, rasanya gak enak banget ya, dimarahin dan selalu sendiri... Tapi sekarang ada aku yang nemenin kamu. Udah gak kesepian lagi kan?"
Inner child : "Iya, aku senang ada yang menemani...."
Dengan berbicara pada inner child yang bermasalah, kita memberikan kesempatan padanya untuk bercerita. Dengan menanggapinya, kita membantu dia melepaskan emosi negatif yang selama ini mengurungnya. Setelah dia merasa lega, kita pun akan merasakan sebuah kelegaan. Satu kerikil dalam hati telah mampu disingkirkan.
Terry Pratchett, seorang penulis novel fantasi terlaris pernah mengatakan, "Hello inner child, I'm the inner babysitter!" Rasanya tepat sekali kalau diri sendiri yang paling pas untuk menjadi pengasuh bagi inner child kita. Karena diri sendiri yang pernah merasakan emosi-emosi si inner child. Maka jadilah pengasuh yang memberikan perhatian, kasih sayang dan pelukan yang dulu tak pernah kita dapat dari orangtua.
3. Memaafkan
Cara berikutnya adalah memaafkan perilaku kedua orangtua kita dulu yang kasar atau berlaku tidak baik saat kita kecil. Selain orang tua, maafkan pula nenek kakek om tante dan saudara kandung yang tinggal serumah. Karena mereka sangat mungkin berkontribusi menorehkan luka di batin kita. Memaafkan mereka sebetulnya bukan hanya demi kebaikan mereka. Tapi lebih kepada demi kebaikan diri kita sendiri.
Amarah, apalagi dendam yang kita simpan dalam hati, bagaikan bara api yang hanya akan membakar diri sendiri. Maafkanlah kesalahan mereka. Mereka berlaku demikian bukan karena tidak sayang. Tapi karena ketidaktauan mereka tentang ilmu parenting, karena punya terlalu banyak anak tanpa bisa berbagi waktu dan perhatian yang adil, ataupun karena tekanan ekonomi.
Beruntunglah kita yang kini hidup di zaman serba internet, dimana berbagai ilmu mudah diakses. Termasuk cara mengasuh anak. Lain halnya dengan orangtua kita. Dan besar kemungkinan, cara didik orangtua kita adalah warisan dari kakek nenek kita.
Maka ucapkanlah pada diri sendiri berulang-ulang: "Ayah ibu, aku sudah memaafkanmu. Aku percaya kalian sungguh mencintaiku. Akan slalu ku ingat betapa besar jasa kalian merawat dan membesarkanku. Kesalahanmu dalam mengasuhku hanya karena ketidaktauanmu, bukan karena tidak sayang. Aku telah memaafkanmu."
Masa lalu tak pernah bisa kita ubah. Tapi kita selalu bisa merubah sikap dalam menghadapinya. Maafkan ketidaksempurnaan masa lalu. Toh kita sudah diberi makan, diberi tempat tinggal dan disekolahkan oleh orangtua. Tanpa mereka, kita tak akan tumbuh besar seperti saat ini.
4. Melepaskan
Setelah memaafkan, rasakanlah beban berat itu akan menguap. Hati lebih ringan, pikiran lebih tenang. Lalu lepaskan sisanya. Lepaskan kenangan masa lalu yang menyakitkan itu. Supaya tak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang akan membuat kita berulang melakukan kesalahan yang sama. Fokuslah ke masa sekarang dan masa depan.
***
Lakukan rangkaian self healing ini secara rutin. Ulangi untuk memanggil inner child Anda. Lakukan di saat tenang, tidak ada orang. Bisa di malam hari saat semua tertidur. Bayangkan sosok anak kecil dalam diri anda. Bicaralah dengannya, tanyakan perasaannya. Ingat kembali memori yang menyesakkan hati. Urai satu persatu masalah yang belum terselesaikan. Ungkapkan satu persatu emosi yang masih tertahankan.
Lakukan berulang hingga seluruh bayangan inner child yang tidak bahagia itu menghilang. Digantikan dengan inner child yang tersenyum, ceria, bersemangat dan bahagia.
Martha Beck, seorang penulis lulusan Harvard University pernah mengatakan, "Caring for your inner child has a powerful and surprisingly quick result. Do It and the child heals. Dengan merawat inner childmu, akan memberikan hasil yang luar biasa dan mengejutkan dalam waktu relatif singkat. Lakukan itu dan si anak akan sembuh."
Maka rangkullah inner child kita, sembuhkan, dan kita akan melihat hasil yang menakjubkan.
Diri ini akan lebih bisa memaklumi tingkah anak, akan tidak mudah marah dan hati terasa lebih damai.
Namun bila Anda tak bisa menghadirkan inner child dan punya masa kecil yang sangat kelam, saya sangat menyarankan agar Anda berkonsultasi dengan psikolog, agar dibantu memanggil inner child yang bermasalah dan diharapkan dapat menyelesaikannya dengan baik, agar tidak mengganggu kehidupan Anda saat ini yang telah menjadi seorang ibu. Agar Anda tidak mewariskan kesalahan yang sama dalam mengasuh anak, yang akan terus menurun ke cucu Anda kelak.
Sudah cukuplah anak kita merasakan juga sakitnya cubitan. Jangan ulangi lagi pukulan. Jangan biarkan dia merasa sendirian, tak didengar pendapatnya, diabaikan dan hidup dalam ketakutan atas bentakan dan makian.
Ayo putuskan mata rantai inner child ini! Terima. Komunikasi ke dalam. Maafkan. Lepaskan.
Maka masa lalu yang buruk itu akan menjadi pil pahit yang bisa menjadikan kita pribadi yang lebih kuat.
Menjadi ibu yang tahu cara merawat anak dengan baik, tidak melakukan kesalahan yang sama.
Yang lembut namun bisa tegas saat diperlukan, tanpa harus melukai perasaan maupun fisik anak.
Kita bisa berdiri tegak sebagai ibu yang bahagia.
Menjadi ibu yang sepenuhnya dicinta.
Oleh anak-anak yang tak dibuat merana.
Demi masa depan mereka yang istimewa.
Selamat berjuang memutuskan mata rantai inner child ini bunda. Percayalah, menjadi ibu itu jauh lebih menyenangkan. Saat kita tak lagi dibayangi masa kecil yang menyedihkan.
0 comments:
Post a Comment