"Berani Jujur Itu Hebat!"
Sebenarnya, kalimat ini mengherankan, karena salah satu standard karakter orang baik adalah jujur. Artinya, kejujuran itu mestinya ada pada setiap orang, dan merupakan akhlak yang standard. Tetapi, rupanya dunia telah sedemikian berubah, sehingga orang jujur sekarang memang langka adanya. Keculasan, tipu daya, kebohongan, siasat busuk, berkelit-kelindan dan melekat dan lama-lama naik tingkat menjadi adat.
Padahal, kejujuran adalah modal dasar kehidupan, dan sarana cemerlang menuju kejayaan akhirat. Di dunia, kejujuran kerap menjadi sarana kesuksesan seseorang. Tentu kita sering mendengar kisah, seseorang yang cemerlang secara karir, ternyata mengalami kegagalan fatal di tengah jalan gara-gara bersikap tak jujur.
Mengajari bersikap jujur kepada anak itu gampang-gampang susah. Gampang, karena pada prinsipnya seorang anak itu memang sudah jujur dari sononya, alias selalu bersikap apa adanya. Nalurinya yang bening mendorongnya untuk melakukan itu. Sulit, karena konsep kejujuran dan kebohongan, adalah sesuatu yang sifatnya abstrak dan mungkin agak sulit dimengerti.
Anak-anak usia 2-3 tahun misalnya, rata-rata mereka memang hidup di alam fantasi. Mereka sangat suka berimajinasi, dan imajinasi yang mereka bentuk itu, seolah-olah nyata terjadi. Maka, jangan heran jika suatu saat, anak Anda yang masih berusia 3 tahun misalnya, tiba-tiba datang kepada Anda, lalu dengan wajah serius bercerita, bahwa dia baru saja bertemu dengan Sponge Bob. Menurut American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, sampai mereka berusia 7 atau 8 tahun, anak-anak tidak mengerti bahwa berbohong itu upaya nyata untuk memperdaya seseorang.
Namun, kejujuran tentu harus tetap diajarkan, dan diupayakan melekat pada anak-anak kita. Dalam ajaran Islam, ada sarana berpuasa, yang sangat tepat untuk melatih anak bersikap jujur. Ya, karena ibadah puasa ini memang sangat menekankan aspek kejujuran. Hanya Allah dan kita sendiri yang tahu kita benar-benar berpuasa, atau diam-diam menyelinap ke kulkas dan minum seteguk air di siang bolong. Mengingat pentingnya bersikap jujur, tak ada salahnya jika kita menitiktekankan puasanya anak-anak kita sebagai latihan bersikap jujur.
Bagaimana cara agar anak terbentuk untuk selalu bersifat jujur? Berikut ini tips-tipsnya:
Pertama, berilah pengertian sebelumnya kepada anak kita, bahwa kejujuran itu adalah hal yang terpenting dalam hidup kita. Sebaliknya, terangkan juga apa bahaya ketidakjujuran bagi seseorang.
Kedua, terangkan konsep bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar. Misalnya saat berpuasa, kita bisa berkata begini, “Nak, Bunda nggak tahu kalau kamu diam-diam berbuka. Tetapi, Allah maha melihat apa yang kita kerjakan. Jangan takut kepada Bunda, tetapi takutlah kepada Allah.”
Ketiga, karena kejujuran itu penting, sebaiknya kita tak terlalu mempersoalkan hasil akhir, tetapi fokuslah pada proses. Misal, ketika anak kita memang tak kuat berpuasa, katakan kepadanya, “Nak, kalau memang kamu tidak kuat, berbuka saja pas adzan dhuhur.” Itu jauh lebih baik daripada Anda mengatakan, “Pokoknya, bagaimanapun caranya, Adek harus puasa sampai maghrib, Bunda ada hadiah besar jika Adek bisa,” padahal, mungkin Anda sendiri menyadari, bahwa anak Anda agak kesulitan untuk berpuasa penuh. Tindakan semacam itu, akan membuat si anak memiliki bersitan niat untuk berbohong.
Ini sama dengan tindakan sebagian orang tua yang sangat berobsesi anaknya dapat prestasi tinggi di sekolahnya dan karenanya menekan anak untuk selalu mendapatkan nilai baik, serta memarahinya habis-habisan jika nilainya jeblok. Tindakan kita yang sangat berorientasi pada hasil akhir, akan mendorong anak untuk menggunakan berbagai cara, termasuk mencontek.
Keempat, jika Anda tahu bahwa anak Anda diam-diam berbohong, misal saat puasa dia berbuka, jangan langsung menghujaninya dengan pertanyaan yang mengarahkan anak kepada kebohongan kedua, seperti “Adek tadi buka ya?”. Tapi, langsunglah peluk dia dan berkata semacam ini, “Adek, besok makan sahurnya yang banyak, biar adek bisa kuat. Trus, jangan terlalu banyak main bola, nanti gampang haus.” Atau, ketika Anda tahu bahwa dia memukul adiknya hingga menangis, tetapi dia tidak mau mengaku, tak usah didesak untuk mengaku. Tetapi dengan cara lembut, kita bisa merangkulnya, lalu berkata, "Kakak, mencintai adik itu sesuatu yang sangat mulia, lho. Sementara, memukulnya hingga menangis, tentu akan dicatat sebagai perbuatan tercela."
Kelima, pujilah kejujurannya meski untuk sesuatu yang tak sesuai harapan. Misal suatu ketika anak Anda berkata, “Bunda, maaf, kemarin aku nyontek saat ulangan.” Katakan padanya semacam ini, “Bunda senang Adek mau berterus-terang. Lain kali kalau Adek tak bisa mengerjakan ulangan, sebaiknya kerjakan sebisanya. Bunda memang senang jika Adek dapat nilai bagus, tetapi Bunda lebih senang jika Adek bersikap jujur”
Keenam, jangan beri contoh ketidakjujuran kepada anak Anda. Misal, suatu saat Anda berpesan kepada anak Anda, “Nak, kalau ada telepon tanya dulu dari siapa. Kalau yang telpon Pak A dari perusahaan B, bilang Bunda sedang sibuk.” Jika Pak A dari perusahaan B itu memang mengganggu Anda, mengapa tidak Anda hadapi saja sendiri, lalu bicara secara baik-baik atau tegas jika diperlukan, jika telepon-teleponnya Anda rasa mengganggu Anda.
Sulit memang, membudayakan bersikap jujur kepada anak. Terlebih, budaya dusta banyak sekali menjejali kehidupan di masyarakat sekitar kita. Terkadang, seringkali kita juga secara tak sadar melakukan dusta-dusta ringan, yang akhirnya menjadi kebiasaan. Ingin anak kita jujur, ayo mulai dari diri kita!
Sumber: afifahafra.net
0 comments:
Post a Comment