1. Awali dengan Ilmu
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah (olehmu Muhammad): ‘Apakah sama antara orang yang tahu dengan yang tidak tahu?’. Sesungguhnya yang mengambil pelajaran itu hanyalah orang-orang yang berfikir.” (QS. Az-Zumar [39]: 9)
Potongan ayat tersebut merupakan pernyataan yang berbentuk pertanyaan atau lebih sering disebut dengan istilah istifham inkari. Syaikh As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, “(Antara yang tahu dan tidak tahu) Tentu tidak sama. Seperti bedanya siang dan malam, gelap dan terang, juga api dengan air.”
Dalam konteks parenting (pengasuhan/mendidik anak), antara orangtua yang belajar ilmu mendidik anak dengan orangtua yang tidak belajar atau bahkan tidak mau belajar, jelas berbeda. Karena dengan ilmu-lah seseorang bisa membuat pola sikap. Seberapa benar sikap seseorang terhadap sesuatu sebanding dengan ilmu yang dimiliki tentang sesuatu tersebut.
Sekurang-kurangnya, orangtua itu ada dua macam: "orangtua betulan" dan "orangtua kebetulan". Yang pertama menggambarkan kesiapan, tanggung jawab, dan memiliki niat yang baik, sedangkan orangtua jenis kedua adalah gambaran keterpaksaan, tidak peduli, dan lepas tanggungjawab. Termasuk orangtua jenis manakah kita?
Pentingya Ilmu Pengasuhan (Parenting)
Kenapa orangtua perlu bekal ilmu untuk mendidik anak-anaknya? Tentu banyak jawaban dari pertanyaan yang satu ini.
Pertama, tidak cukup hanya memiliki niat. Semua orangtua, bahkan jika dia adalah seorang preman yang belum pensiun sekalipun, tentu jika ditanya tentang harapan terhadap anaknya, maka sebagian besar akan menjawab dengan kalimat yang sama; yaitu ingin memiliki keturunan yang cerdas dan sholih. Tapi, bagaimana mewujudkannya? Ini masalahnya. Niat yang baik adalah awal yang bagus, tapi untuk mewujudkan niat baik tersebut dibutuhkan cara yang benar. Niat atau cita-cita saja tanpa ada usaha yang dilandasi ilmu, hanya akan menjadi sekedar hayalan, bahkan bisa jadi justru melahirkan kemadharatan. Umar bin Abdul Aziz berkata:
مَنْ عَمِلَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
“Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka dia lebih banyak merusak daripada memperbaiki.”
Kedua, bisa lebih bersabar. Sabar itu terikat dengan ilmu. Salah satu faktor yang mampu mempengaruhi kesabaran seseorang adalah ilmu. Seorang montir otomotif bisa tenang, tekun, dan sabar dalam memperbaiki kendaraan yang rusak karena memang dia menguasai ilmunya. Seorang santri bisa sabar dan telaten membaca kitab bahasa arab gundul karena memang memahami ilmunya. Seorang chef bisa menikmati waktu yang berpanjang-panjang untuk menghasilkan makanan enak karena memang telah menguasai ilmunya. Begitu pula seorang ibu atau ayah, mereka bisa bersabar dalam mendidik anak jika memiliki bekal ilmu yang cukup tentang pengasuhan anak.
Tak peduli dengan gelar akademik yang dimiliki atau jabatan yang dilakoni, jika kita tidak ada bekal ilmu untuk mendidik, maka bersiap-siaplah untuk banyak meledak-ledak emosinya ketika menghadapi sekelumit dinamika dalam mendidik anak. Jika sudah sering sulit sabar, maka yang muncul adalah banyak marah. Bukan tidak boleh marah, karena para orangtua pun memang manusia biasa. Tapi seringsekali penyebab marah para orangtua itu disebabkan oleh kedangkalan pemahaman orangtua terhadap dunia anak-anak. Kalau sering memarahi anak, maka sejuta potensi yang dimiliki oleh anak beresiko habis terbakar oleh nafsu amarah orangtuanya.
Ketiga, teladan saja tidak cukup. Keteladanan merupakan salah satu unsur terpenting dalam mendidik anak terutama dalam hal penanaman sikap disiplin. Seringsekali orangtua telah memberi contoh yang baik tentang kesederhanaan hidup, rutinitas ibadah, sopan santun, dan sederet kebaikan lainnya, akan tetapi anak-anak tak bisa mengikutinya. Kenapa? Karena menjadi pribadi yang baik itu beda dengan membuat orang lain menjadi baik. Kalau dalam istilah al-Qur’an, ada shalih dan mushlih. Shalih hanya untuk pribadi, sedangkan Mushlih adalah kemampuan menjadikan orang lain menjadi shalih. Kedua-duanya membutuhkan ilmu yang berbeda. Wallahu a’lam.
Keempat adalah tantangan zaman. Dulu, orang punya sembilan anak, dibiarkan bermain keluar rumah, tanpa ada perasaan khawatir, karena warga satu RW insyaa Allah mengenali mereka dan orangtuanya. Dulu, anak-anak juga tidak mengenal gadget ataupun internet. Namun sekarang, hampir setiap anak memiliki berbagai macam gadget yang terkoneksi dengan internet, yang tidak jarang memberikan pengaruh buruk pada perkembangan dan perilaku mereka. Zaman telah berubah dan kita tak bisa menolak perubahan itu. Yang harus dilakukan para orangtua bukanlah menyalahkan perubahan, tapi berusaha beradaptasi dengan perubahan tersebut. Beradaptasi bukan berarti mengikuti sepenuhnya atau terbawa arus, tapi bagaimana mempertahankan cita-cita kebaikan kita dengan memanfaatkan kondisi yang ada. Nah, yang seperti ini jelas membutuhkan bekal ilmu yang cukup.
Kelima adalah untuk mengoptimalkan potensi anak. Dengan bekal ilmu parenting, orangtua bisa mengoptimalkan seluruh potensi dan kecerdasan yang dimiliki oleh setiap anak. Ketiadaan ilmu parenting bagi orangtua akan berakibat pada penilaian yang tidak benar. Banyak anak dianggap tidak cerdas hanya karena tidak memiliki prestasi akademik yang unggul. Atau sebaliknya, terlalu berbangga diri dan merasa anaknya sempurna karena anaknya berhasil mendapatkan juara pertama di sekolah.
Every child is special, setiap anak itu istimewa, karena Allah memberikan semua hamba-Nya kelebihan dan kekurangan. Semua anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, jangankan yang beda orangtua, yang satu rahim saja pasti tidak sama. Dan inilah yang dipelajari dalam ilmu parenting ataupun dalam ilmu pendidikan secara umum dengan istilah multiple intelegences (kecerdasan majemuk). Membahas hal ini pastilah membutuhkan waktu yang panjang. Yang jelas, jika punya ilmunya, maka orangtua tidak akan pernah menyesal dan akan selalu bersyukur dengan kondisi apapun yang dimiliki anak-anaknya. Bersyukur bukan berarti menerima lalu diam, namun berbesar hari dan selalu bahagia dengan setiap pemberian karunia yang diberikan Allah kepada anak-anak mereka, kemudian berusaha mengoptimalkannya untuk kebaikan.
Mendidik anak adalah adalah ikhtiar menunaikan amanah sekaligus ibadah. Maka selayaknyalah para orangtua memiliki bekal ilmu yang cukup agar dapat menunaikan amanahnya dengan sebaik mungkin. Teruslah belajar menjadi "orangtua betulan", karena banyak sekali permasalahan anak yang diawali dengan pola asuh yang salah dari orangtua. Benarkah? Ikuti tulisan selanjutnya, insyaa Allah.
Wallahu a’lam.
Oleh: Hasan Faruqi, S.Pd.I
0 comments:
Post a Comment