Banyak umat Islam yang mengenal dengan baik Anas bin Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Bukhari. Tetapi, jika ditanyakan kepada mereka siapa ibunda dari ketiga tokoh besar itu, rata-rata tak bisa menjawabnya. Padahal, tanpa pendidikan awal dari sang ibunda mustahil ketiganya bisa meraih kecemerlangan seperti yang diakui banyak orang sampai kini.
Siapa Anas bin Malik? Dia adalah pembatu setia dan sekaligus sahabat dekat Rasulullah Saw. Dia termasuk satu di antara tujuh Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi Saw. Tak kurang dari 2286 hadits yang telah beliau riwayatkan. Lebih dari itu, Anas bin Malik telah "meluluskan" banyak ulama hebat, seperti antara lain: Hasan Al-Bashry, Ibnu Sirrin, Tsabit Al-Bunany, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Qatadah As-Sadusy.
Siapa ibu Anas bin Malik? Dia bernama Ummu Sulaim. Dari sebuah riwayat, bahwa Anas bin Malik menceritakan: “Ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah, aku baru berumur delapan tahun. Waktu itu ibu menuntunku menghadap Rasulullah Saw, seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, tak tersisa seorang Anshar-pun kecuali datang kepadamu dengan hadiah istimewa. Namun, aku tak mampu memberimu hadiah kecuali putraku ini. Maka, ambillah dia dan suruhlah dia membantumu kapan saja engkau inginkan’.”
Anas bin Malik beruntung karena setelah itu dia didoakan oleh Nabi Saw: “Yaa Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta panjangkanlah usaianya.” Dan, kitapun tahu, bahwa doa itu terbukti telah dikabulkan Allah.
Kini, kita beralih ke Imam Syafi’i. Dia dikenal cerdas. Beliau hafal Al-Qur’an pada usia 7 tahun. Lalu, hafal Kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan sang penulis di Madinah.
Imam Syafi’i masyhur sebagai salah satu dari empat Imam Mazhab. Dia bergelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits karena kesetiaannya dalam mengikuti sunnah dan hadits. Di antara lebih dari seratus karya tulisnya, maka yang paling terkenal adalah al-Umm yang terdiri dari 4 jilid dan berisi 128 masalah di bidang fiqih. Juga, Ar-Risalah al-Jadidah (edisi revisi) mengenai Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Tentang Imam Syafi’i yang juga cakap dalam berdebat secara ilmiah, Imam Ahmad (Imam Hanbali) pernah memberi tamsil yang menarik. Kata dia, “Imam Syafi’i bagaikan matahari bagi alam raya dan kesehatan bagi tubuh. Maka, apakah ada manusia yang tidak membutuhkannya?”
Lalu, siapa ibunda Imam Syafi’i? Dia bernama Fathimah binti Ubeidillah, yang bakat kecerdasan Imam Syafi’i tampak berasal darinya. Untuk itu, cermatilah riwayat berikut ini.
Pada suatu ketika, ibunda Imam Syafi’i diminta oleh Qadhi (hakim) untuk menjadi saksi di pengadilan. Dia lantas menghadap Qadhi dengan mengajak salah seorang teman wanitanya untuk turut bersaksi. Di pengadilan, sang Qadhi berkata kepada Fathimah: “Yang boleh bersaksi hanyalah kamu dan temanmu tidak boleh.”
Atas aturan itu, dengan tegas ibunda Imam Syafi’i menukas: “Anda tidak bisa berkata seperti itu, sebab Allah telah berfirman: “….. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya….” (QS Al-Baqarah [2]: 282). Maka, atas argumentasi hebat itu, si Qadhi terdiam seribu bahasa mengakui kecerdasan dari ibunda Imam Syafi’i.
Sekarang, kita kenang Imam Bukhari yang (hampir) semua umat Islam mengenal namanya dengan baik. Dia berjuluk Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits).
Imam Bukhari cerdas dan hafalannya kuat. “Saya mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika masih di sekolah baca-tulis,” kata Imam Bukhari. Terkait ini, Abu Bakar ibnu Khuzaimah berkesaksian bahwa “Di kolong langit ini tidak ada orang yang lebih mengetahui hadits lebih dari Muhammad bin Isma’il atau Imam Bukhari.”
Dalam sejarah hidup Imam Bukhari, ada fragmen menarik di masa kanak-kanaknya yaitu kedua mata dia sempat buta. Pada suatu malam, ibunda Imam Bukhari bermimpi bahwa dia berjumpa dengan Nabi Ibrahim As yang lalu berkata kepadanya: “Wahai Ibu, sesungguhnya Allah telah berkenan mengembalikan penglihatan anakmu karena cucuran air mata dan banyaknya doa yang engkau panjatkan kepada-Nya.” Esoknya, setelah diperhatikan, ternyata penglihatan Imam Bukhari benar-benar telah kembali normal.
Sejak Buaian
Di dalam proses tumbuh-kembang anak, ibu adalah "sekolah" pertama dan utama bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, akhlaq dan kecerdasan sang ibu menjadi faktor utama dalam menentukan sukses anak di kemudian hari.
Tentang pengaruh dari seorang ibu, kita bisa merasakannya lewat nasihat Utsman bin Affan kepada anak-anaknya: “Wahai anak-anaku, sesungguhnya orang yang hendak menikah itu ibarat orang yang akan menyemai benih. Maka, hendaklah dia memperhatikan di mana dia akan menyemainya. Dan ingatlah, bahwa (wanita yang berasal dari) keturunan yang buruk jarang sekali melahirkan keturunan yang baik. Jadi, pilih-pilihlah terlebih dahulu meskipun sejenak.”
Sungguh, apa yang disampaikan Utsman bin Affan itu benar. Sebab, proses pendidikan memang sudah harus dimulai sejak anak dalam buaian. Maka, terkait bahwa “Pendidikan anak itu dimulai sejak dari buaian”, tak kalah penting kiranya untuk memperhatikan asupan anak sedari bayi. Dalam hal ini, bahkan ada larangan Rasulullah Muhammad Saw untuk menyusukan bayi kita kepada wanita yang dungu. Cermatilah, “Bahwasanya Rasulullah melarang untuk menyusukan anak kepada wanita yang bodoh” (HR Ath-Thabarani).
Alhasil, kini kita menjadi lebih faham bahwa memang di balik kehebatan seorang anak (hebat dalam pengertian sukses di dunia dan –insyaa Allah- di akhirat) selalu ada kontribusi dari seorang ibu yang berkualifikasi hebat juga.
sumber: anwardjaelani.com
0 comments:
Post a Comment