”Sesungguhnya aku sedang shalat, dan aku teringat dengan anakku, lalu kutambahkan lagi sholatku”. (Sa’id bin Musayyib)
Ada penggalan do’a yang nyaris tak pernah kita lewatkan setiap usai shalat. “Robbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata ayun”, ya Rabb, karuniakan kami dengan menjadikan isteri serta anak kami penyejuk mata.”
Potongan munajat yang diambil dari surat Al-Furqan ayat 72 ini, setidaknya merupakan cermin, kita sangat ingin memperoleh keturunan yang baik. Seorang penjahat, pelaku kriminal, pezina, penipu, siapapun, pasti ingin anak keturunannya menjadi orang baik-baik. Itu suara nurani.
Saudaraku,
Harapan memiliki keluarga dan keturunan yang shalih, makin kuat. Terutama dengan tantangan zaman yang semakin keras menerpa nilai moral dan agama. “Anak-anakmu bukanlah anakmu, tapi mereka adalah anak zamannya,” begitulah ungkapan seorang penyair menggambarkan pengaruh zaman yang sangat mempengaruhi kepribadian anak.
Adalah seorang tabi’in bernama Sahal At-Tastari berjanji kepada Allah untuk anaknya saat isterinya masih mengandung anaknya. Ia mengajak anaknya untuk beramal shalih dan berharap agar Allah memberi kehormatan kepadanya dengan anak shalih. Katanya, “Sesungguhnya aku berjanji kepada Allah, aku akan memelihara anakku sejak saat ini, ketika anakku masih dalam bentuk benih atau janin, sampai nanti kelak Allah membangkitkan mereka pada alam kehidupan yang nyata.” (Hasyiyah Ibnu Abidin 1/35).
Mendidik anak dan keluarga untuk tetap berada dalam jalan hidayah Allah sebenarnya banyak bertumpu pada bagaimana kualitas ketakwaan dan keshalihan orang tua. Allah berfirman dalam surat at-Tahrim ayat 6 yang artinya, “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,”
Disebutkan bahwa pemeliharaan itu berawal dari pemeliharaan terhadap diri sendiri (anfusakum), yaitu pihak orang tua. Setelah itu, barulah pemeliharaan itu diarahkan pada sanak keluarga (ahliikum).
Keshalihan orang tua juga ternyata memiliki akibat pada kebaikan keturunannya. Lihatlah jawaban Nabi Khidir ketika Nabi Musa as bertanya, “Kenapa ia menolak mengambil upah memperbaiki sebuah rumah yang hampir runtuh?” Jawaban Khidir adalah, “Kaana abuuhuma shalihan; adalah orang tua mereka itu orang shalih.” (Lihat QS. Al-Kahfi: 82).
Saudaraku,
Ketahuilah ada korelasi antara sikap kita kepada orang tua, dengan sikap anak kita kepada kita. Rasulullah saw pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang Ia tidak akan berbicara kepada mereka dihari kiamat, tidak akan mensucikan mereka dan tidak akan melihat mereka.” Sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu ya Rasulullah?’ Rasul bersabda, “Mereka adalah orang yang tidak mau peduli dengan orang tuanya, membenci keduanya dan tidak mau peduli dengan anaknya.” (HR. Ahmad dan Tabrani).
Apa artinya? Kebaikan kita pada orang tua, juga punya hubungan dengan sikap baik anak kita kepada kita sendiri.
Pelajaran paling sederhana dari hal ini adalah nasihat Rasulullah yang berbunyi, “Birru aabaa akumyabirrukum abnaaukum; berbaktilah kalian pada orang tua kalian, niscaya anak keturunan kalian akan berbakti kepada kalian." (HR. Thabrani)
Saudaraku, begitulah.
Memperbaiki hubungan dengan orang tua menjadi sebab tidak langsung ketaatan dan keshalihan anak. Ini sunnah ilahiyah, ketetapan ilahi. Ibnu Hajar menyebutkan dalam Al Ishabah (1/312), bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku masuk surga dan aku mendengar seseorang yang membaca Al Qur’an. Aku berkata, “Suara siapa ini?” Malaikat menjelaskan bahwa itu adalah suara Haritsah bin Nu’man. Rasulullah lalu bersabda, “Itu karena sikap berbaktinya Haritsah.” Dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa Haritsah adalah pemuda yang paling berbakti pada ibunya.
Saudaraku, semoga Allah mengkaruniakan kekuatan pada kita untuk memikul tanggung jawab mulia ini.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah kisah, ketika ada seorang pemuda dalam keadaan sekarat. Rasulullah membimbingnya mengatakan “Laa ilaaha illallah”, tapi pemuda itu tidak bisa mengatakannya. Padahal, menurut orang-orang yang mengenalnya, pemuda itu termasuk orang yang rajin shalat. Akhirnya terbetik kabar bahwa ia mempunyai masalah pada Ibunya.
Mendengar hal itu, Rasul segera memanggil ibu pemuda tersebut. “Engkau lihat, aku sudah sediakan api yang menyala, bila engkau memaafkan anakmu maka akan kami biarkan dia, tapi bila tidak, kami akan bakar dia dengan api ini. Apakah engkau akan memaafkannya?” kata Rasulullah.
Naluri kasih sayang sang ibu pun tersentuh hingga ia mengatakan bersedia memaafkan anaknya. “Ya Allah, aku bersaksi pada-Mu, dan aku bersaksi kepada Rasul-Mu bahwa aku ridha dengan anakku."
Setelah itu barulah pemuda itu bisa mengatakan, Laa ilaaha illallah. Rasulullah bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka….”
Saudaraku,
Nikmat terindah bagi keluarga yang tumbuh dalam ketaatan adalah, Allah akan mempertemukan mereka di surga yang abadi. Allah swt berfirman. “Dan orang-orang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun pahala amal mereka.” (QS. Ath-Thur : 21). Demikianlah, keberadaan orang tua yang shalih bisa menjadi sebab masuknya anak-anak dan keluarga yang lain ke dalam surga.
Dalam Al I’tiqad, Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad kepada Ibnu Abbas. Bahwa setelah Allah menurunkan surat An-Najm ayat 39 yang artinya, “Tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali sebatas apa yang diupayakannya”. Allah menurunkan pula surat Ath Thur ayat 21 “wa alhaqnaa bihim dzurriyatahum; Kami pertemukan mereka dengan keturunan mereka". Ibnu Abbas mengomentari bahwa yang membuat mereka dipertemukan itu adalah keimanan. “Allah memasukkan anak-anak dan keturunan itu ke surga, karena kebaikan dan keshalihan orang tua mereka“, begitu katanya.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat “wa alhaqnaa bihim dzurriyatahum” itu berarti Allah swt mengangkat keturunan orang mukmin bersama orang tuanya dalam tingkatan yang sama di surga, meski mereka mungkin tidak sama amalnya dengan orang tua mereka.
Ibnu Hajar menyebutkan sebuah hadits, bahwa Haritsah bin Nu’man datang kepada Nabi saw ketika Nabi tengah mendoakan seseorang. Haritsah duduk dan tidak memberi salam. Jibril bertanya, “Kenapa ia tidak memberi salam, jika memberi salam niscaya akan kami balas salamnya”. Nabi menjawab, “Apakah engkau mengenal orang ini?” Jibril berkata, “Ya, dia adalah satu dari 80 orang yang bersabar dalam perang Hunain, dan diberi rizki oleh Allah serta diberi rizki anak-anak mereka akan masuk surga (Al Ishabah ,1/312). Subhanallah. Begitulah penghargaan Allah swt terhadap orang tua yang shalih.
Saudaraku, sampai di sini mengertilah kita makna perkataan Sa’id bin Musayyib, “lnni la ushalli fa adzkuru waladi, fa aziidu fi shalati; Sesungguhnya aku sholat, dan aku teringat dengan anakku, lalu kutambahkan lagi shalatku."
Di Kutip Dari Buku “Mencari Mutiara Di Dasar Hati”
Karya Muhammad Nursani, Penerbit Tarbawi
0 comments:
Post a Comment