Tetangga satu ini memang keterlaluan. Namanya Rahmat, namun tindakannya sama sekali tak mencerminkan keinginannya untuk memberi rahmat bagi orang-orang di sekitarnya, terutama kepada istrinya, Mirna. Kasihan sekali wanita mungil yang pendiam itu, karena kerap kali diperlakukan kasar oleh suaminya. Dibentak, dimarahi, sesekali ditampar atau dipukul.
Kita bukannya ikut campur urusan rumah tangga orang, tetapi jika kekasaran seperti itu terjadi di rumah mereka, tetangga lain otomatis akan mengetahuinya. Dari suara Rahmat yang menggelegar, serta bunyi barang pecah-belah yang dibanting, juga tanda bekas-bekas pukulan pada pipi Mirna, orang sudah mengerti apa yang terjadi.
Sangat disayangkan, ternyata pengalaman buruk dialami Mirna, banyak pula dialami oleh istri-istri lain di lingkungan kita. Nampaknya perilaku kasar seperti itu sering dianggap wajar oleh para suami, sehubungan dengan tugasnya sebagai pemimpin rumah tangga. Menurut mereka, itu adalah satu bentuk ketegasan dalam mendidik istri, dalihnya. Benarkah pendapat ini?
Allah memerintahkan dalam surah an-Nisa', ayat 19,
“Dan bergaullah kamu dengan istrimu dengan cara yang patut...”
Sebuah perintah yang sekilas nampak sederhana. Bukankah setiap orang disuruh berbuat ma'ruf? Juga termasuk suami kepada istrinya? Karena nampak sederhana, banyak orang tidak serius memahaminya. Padahal, yang dimaksud berbuat ma'ruf di sini sangat luas cakupannya. Dan nyatanya cukup sulit dilakukan oleh seorang laki-laki yang menjadi pemimpin.
Rasulullah saw adalah sebaik-baik teladan, sebaik-baik contoh perangai suami kepada istrinya. Beliau pernah bersabda, “Jagalah dia seperti memelihara barang pecah-belah.” Bisa Anda bayangkan bagaimana merawat barang yang mudah pecah itu? Beliau telah memberikan teladan yang begitu agung. Begitu lembut dan kasih berbicara dan berperilaku kepada istrinya.
Dalam sebuah hadits dikatakannya, “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah yang terbaik dari kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tak tahu budi.” (HR. Abu `Asaakir).
Nah, kepada para suami, marilah bersama introspeksi diri, jangan-jangan satu kesalahan kecil saja kepada istri sudah membawa dosa besar buat kita. Perlu kita jaga ajaran Islam untuk berbuat ma'ruf kepada istri. Beberapa poin yang tercakup dalam perbuatan baik suami terhadap istri itu antara lain:
1. Bicara dengan lembut dan kasih sayang
Cara laki-laki bicara memang berbeda dengan wanita. Laki-laki berbicara secara rasional, sesuai dengan kenyataan yang ada tanpa terlalu mempertimbangkan perasaan orang. Padahal bagi wanita soal perasaan adalah nomor satu. Itu sebabnya wanita kerap tersinggung dengan cara laki-laki berbicara yang to the point, yang kadang menyinggung perasaannya. Sementara laki-laki tak merasa berbuat kesalahan karena kurang memahami kehalusan perasaan istrinya.
Untuk itulah laki-laki perlu memperhalus gaya bicaranya jika berhadapan dengan wanita. Suara keras dan kasar yang bagi mereka biasa saja sudah bisa membuat hati wanita ciut dan gemetar. Apalagi jika diiringi raut muka marah dan menyeramkan. Mengecilkan volume suara serta menghaluskan intonasi suara akan membuat istri lebih nyaman mendengarnya.
2. Menasihati dengan halus
Langsung membentak jika istri berbuat salah? Tidak boleh. Itu bukan perbuatan seorang pemimpin yang makruf. Ada tahapan reaksi yang sudah diatur al-Qur'an dalam menghadapi istri yang berbuat kesalahan. Tahapan pertama adalah memberi nasihat dengan kata-kata yang baik dan halus.
“Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan kedurhakaannya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Dan jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari (jalan) untuk menyusahkannya.” (QS. An-Nisa': 34)
Jika dengan nasihat kata-kata yang baik istri belum bisa berubah, upaya berikutnya dengan menahan kebutuhan seksualnya (pisahkanlah dari tempat tidur mereka). Menurut para ahli, setidaknya suami tidak melayani hubungan badan selama empat bulan sebagai "hukuman" yang efektif untuk kesalahan istri. Sampai batas empat bulan jika belum ada perubahan, barulah sampai pada tahap pukulan. Itupun dengan batasan berikut,
“Jika ia tidak mematuhi perintahmu, berilah dia pukulan yang tidak menyakitkan. Jangan dipukul mukanya dan jangan gunakan kata-kata kotor,” (al-Hadis). Nah, aturannya sudah ditegaskan oleh Rasulullah, namun mengapa masih banyak suami yang terlalu cepat membentak dan memukul istrinya sebelum memenuhi tahapan-tahapan di atas? Dan bahkan masih banyak pula yang menggunakan kata-kata kotor untuk memaki istrinya. Na'udzu billah, mereka inilah seburuk-buruknya suami.
3. Mengerti kebutuhan istri
Karakter munculnya gairah seksual antara laki-laki dan wanita ternyata jauh berbeda. Laki-laki relatif lebih mudah terbangkit gairah seksualnya walau hanya mendapat rangsangan lewat mata, telinga atau hidung. Dan jika laki-laki telah terbangkitkan gairahnya, ia membutuhkan pemuasan secepatnya, karena sebagian besar otaknya menjadi buntu karenanya.
Sebaliknya dengan wanita, mereka lebih sulit untuk terbangkitkan gairah seksalnya. Perlu rangsangan kuat pada bagian-bagian tertentu dalam waktu agak lama hingga perlahan gairah itu akan bangkit. Suami yang tak peduli pada karakter seksual wanita ini sering berbuat seenak hatinya sendiri, tak mau menunggu istri, asal keinginannya terpuaskan dan segera merekapun tertidur.
Rasulullah mengajarkan kepada suami yang baik untuk membuat rayuan pemanasan terlebih dulu. Bahkan sebelum pasangan ini berada di ranjang, mulailah pendekatan dengan kata-kata lembut, pandangan mata lekat dan sentuhan-sentuhan ringan di bahu serta pinggang istri baik di dapur maupun ruang keluarga. Sebelum mulai bercinta pun suami harus banyak mengajak istrinya membicarakan hal-hal ringan yang menggembirakan dan menggairahkan istri terlebih dahulu. Memperbanyak dan memperlama sentuhan pada bagian-bagian sensitif tubuh istri pun akan membantu mempercepat tumbuhnya gairah istri. Hingga ketika suami telah siap berejakulasi pun ia harus menanti hingga istrinya berada pada puncak kenikmatan, dan bersama-samalah keduanya menikmati titik kepuasan.
Etika bersenggama yang indah ini belum banyak dipraktekkan oleh para suami. Kenyataannya begitu banyak istri yang mengaku melayani suami tanpa turut menikmati kepuasan, akibat terlalu tergesa-gesanya suami mencapai kepuasannya sendiri tanpa mempedulikan perasaan dan kebutuhan istri. Akhirya, banyak istri hanya melakuan senggama atas dasar kewajiban sebagai istri, terpaksa maupun ikhlas.
4. Sabar walau tak suka
Pada akhirnya, setelah waktu berjalan dan pernikahan telah melalui beragam onak dan duri, bisa saja timbul ketidakcocokan antara suami dan istri. Tak peduli kesalahan terletak di pihak yang mana, yang jelas saling menyalahkan tak akan ada gunanya. Betapa pun buruknya akhlaq istri, bukankah dia pilihan suami sendiri? Mereka yang sudah siap menikah berarti harus siap dengan segala risikonya. Jika sekarang baru terasa risiko ketidakcocokannya, suami pun harus siap dengan jalan yang telah ia pilih.
Sebagai pemimpin, suami bisa dengan sebelah tangan mencerai istri dan mencari ganti lain yang lebih ia sukai. Tetapi tindakan ini sungguh dibenci Allah. Suami yang berakhlaq baik akan menahan diri, mencoba bersabar dan berusaha mencari sisi-sisi lain kebaikan istrinya yang masih tersisa. Seperti diperintahkan Allah dalam surat an-Nisa', ayat 19,
“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri) secara patut, maka jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Yuli Herfanti/muslimfamilia)
0 comments:
Post a Comment