latest Post

Dampak Negatif Perceraian, Pantas Jika Allah Benci

mengapa cerai dibenci Allah

Manakala sepasang insan melangkah ke jenjang pernikahan dan telah sepakat untuk mengikat diri dalam ikatan suci pernikahan, maka tak satu pun dari mereka yang menginginkan perceraian. Namun, ketika kebersamaan dan keutuhan rumah tangga tidak mungkin untuk dipertahankan lagi, tatkala kebahagiaan tak dapat lagi dirasakan oleh kedua belah pihak, maka perceraian menjadi pilihan terakhir walau berat dan pahit.

Perceraian adalah satu perkara yang memiliki konsekwensi jauh ke depan. Tidak hanya bagi suami istri itu sendiri, akan tetapi juga menyangkut hak anak dan keluarga kedua belah pihak. Oleh karena itu, sudah selayaknya setiap pasangan suami istri untuk bersikap hati-hati dan bijaksana ketika menghadapi prahara besar yang mengancam kelanggengan dan keutuhan rumah tangganya.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad SAW bersabda,

”Perkara halal yang sangat dibenci Allah adalah perceraian” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, namun didhaifkan Syaikh Al-Utsaimin*)

Dan memang, tidak diragukan lagi bahwa perceraian memang memiliki dampak negatif yang sangat serius terhadap kehidupan seseorang, juga masyarakat secara umum, antara lain:

1. Hilangnya kesempatan bagi suami istri untuk berbuat ihsan dalam bersabar menghadapi beragam masalah rumah tangga, padahal setiap perbuatan ihsan dan kesabaran itu akan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat.

2. Hancurnya mahligai rumah tangga yang telah dibangun suami dan terpecah belahnya anggota keluarga. Ibarat seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi tercerai berai kembali.

3. Berbagai perasaan cemas dan takut dapat menimpa suami manakala berkeinginan untuk menikah lagi. Tidak mustahil dia akan merasa kesulitan mengumpulkan biaya untuk menikah kembali, bahkan kesulitan untuk menikah lagi, dikarenakan banyak orang tua yang merasa khawatir untuk menikahkan putri mereka dengan seorang lelaki yang pernah bercerai. Akibatnya dia beresiko tetap membujang selamanya.

4. Kembalinya para wanita yang telah dicerai ke rumah orang tua atau wali mereka; bahkan ke rumah orang lain. Hal ini tentu akan menjadi beban mental bagi mereka maupun para wali. Sebab, menetap di rumah orang tua maupun para wali setelah diceraikan suami, tentulah tidak sama kondisinya bila dibandingkan ketika masih gadis. Ini adalah satu hal yang sangat dipahami wanita.

5. Kecil kemungkinan bagi para lelaki untuk menikahi wanita yang telah menjadi janda karena diceraikan oleh suaminya. Tidak mustahil, setelah bercerai, sang wanita tetap menjadi janda, tidak bersuami. Tentu hal ini mendatangkan berbagai kerusakan dan tekanan batin bagi wanita tersebut sepanjang hayatnya.

6. Jika ternyata wanita yang diceraikan memiliki anak, maka persoalan menjadi semakin rumit. Sebab, tidak jarang anak-anaknya yang tinggal bersama di rumah para wali wanita akan mengalami berbagai macam permasalahan dalam berinteraksi dengan anak-anak kerabat atau wali wanita tersebut.

7. Tidak jarang sang ayah mengambil anak dari ibunya dengan paksa, hingga ibu tidak pernah lagi dapat melihatnya; apalagi jika bapak dari anak-anak ini bertemperamen keras, pasti berpisah dengan anaknya akan sangat menyakitkan hati seorang ibu.

8. Semakin jauhnya ayah dari anak-anaknya. Bisa jadi disebabkan anak-anak tinggal bersama ibu mereka, ataupun disebabkan kesibukan ayahnya dengan istri baru, sehingga menjadi tidak begitu memperhatikan anak-anaknya. Akibatnya, sang bapak menuai dosa besar karena menyia-nyiakan anaknya. Padahal, Rasulullah bersabda,

”Setiap kalian adalah pemimpin, dan tiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya terhadap yang dipimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan diminta pertanggung jawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabannya… ” (HR Bukhari, Kitabun Nikah no 5188)

9. Terlantarnya anak-anak karena terpisah dengan ayah mereka, dan sang ibu kesulitan untuk mendidik mereka sendirian. Hal ini akan menjerumuskan anak-anak ke dalam pergaulan yang buruk. Apalagi pada zaman yang penuh dengan fitnah dan tipu daya ini, tidak jarang anak-anak yang terlantar ini terjerumus ke lembah syahwat dan perzinaan, ataupun mengkonsumsi obat-obat terlarang, sehingga rakhirnya mereka menjadi sampah masyarakat. Tentulah hal ini sangat tidak diinginkan oleh setiap orang tua yang masih memiliki akal sehat dan kehormatan, sebab akan mencoreng arang di muka mereka.

10. Banyaknya kasus perceraian dimasyarakat akan menghalangi banyak pemuda dan pemudi untuk menikah, karena ketakutan mereka terhadap kegagalan dan prahara dalam berumah tangga, yang akhirnya melahirkan sikap traumatis. Tentu hal ini akan mendatangkan bahaya besar bagi masyarakat ketika mereka (para pemuda) terpaksa menyalurkan kebutuhan biologisnya kepada hal-hal yang diharamkan syariat, semisal seks bebas, homoseks, lesbi dan penyimpangan seks lainnya. Na'udubillahi min dzaalik.

Diterjemahkan dari buku: At-Tiryaq li Wiqayati az-Zauzaini min Ath-Tholaq, Dr. Muhammad bin Nashr Al-Humaid oleh Ust. Abu Fairuz Ahmad Ridwan Al Medani, Lc., MA. (ed: muslimfamilia)

Sumber: Majalah As-Sunnah edisi 1 tahun VIII

*Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin berkata :

يروى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( أبغض الحلال إلى الله الطلاق ) وهذا الحديث ليس بصحيح ، لكنَّ معناه صحيح ، أن الله تعالى يكره الطلاق ، ولكنه لم يحرمه على عباده للتوسعة لهم ، فإذا كان هناك سبب شرعي أو عادي للطلاق صار ذلك جائزاً ، وعلى حسب ما يؤدي إليه إبقاء المرأة ، إن كان إبقاء المرأة يؤدي إلى محظور شرعي لا يتمكن رفعه إلا بطلاقها فإنه يطلقها ، كما لو كانت المرأة ناقصة الدين ، أو ناقصة العفة ، وعجز عن إصلاحها ، فهنا نقول : الأفضل أن تطلق ، أما بدون سبب شرعي ، أو سبب عادي ، فإن الأفضل ألا يطلق ، بل إن الطلاق حينئذٍ مكروه ” انتهى

Diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, “Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian,” dan hadits ini tidaklah shahih akan tetapi maknanya shahih, karena Allah Ta’ala membenci perceraian, namun Allah tidaklah mengharamkan perceraian atas para hamba-Nya untuk mempermudah mereka.

Jika terdapat sebab yang syar’i atau alasan yang umum dan jelas untuk bercerai, maka dibolehkan, dan semua tergantung pada sebab-sebab yang membuat ia menahan istrinya. Namun jika menahan sang istri membuatnya menghampiri perkara-perkara yang terlarang secara syar’i, tidaklah mungkin baginya untuk mengatasi perkara-perkara tersebut kecuali dengan menceraikannya, maka ia (boleh) menceraikannya.

Misalnya jika sang istri ternyata kurang berkomitmen terhadap agamanya atau kurang akhlaknya dan sulit untuk meluruskannya, maka disini kami katakan, “Yang afdhal adalah kau menceraikan.” Adapun jika tanpa ada sebab yang dibenarkan syar’i, atau alasan yang umum, maka yang afdhal adalah tidak bercerai, bahkan jika bercerai dalam kondisi seperti ini hukumnya makruh.” (Liqaa’aat Al-Baab Al-Maftuuh no. 55, soal no. 3)
Recommended Posts × +

0 comments:

Post a Comment