Semua orang punya rasa cinta. Tapi tidak semua bisa menempatkan secara benar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) suatu saat ingin menolong seorang suami yang bermasalah dengan istrinya. Suami itu bernama Mughits, seorang budak berkulit hitam milik Bani Al-Mughirah. Sedang istrinya, Barirah, seorang budak milik Bani Hilal. Ketika itu Barirah dimerdekakan oleh majikannya, sementara Mughits belum.
Karena perbedaan status sosial itu, Barirah memilih berpisah dengan suaminya. Namun, perpisahan itu membuat Mughits sangat sedih. Dengan berlinang air mata, ia memohon kerelaan istrinya untuk tetap hidup bersamanya.
Kejadian itu diperhatikan oleh Rasulullah SAW dan berkata kepada pamannya, Abbas radhiyallahu ‘anhu (RA), “Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa cinta Mughits pada Barirah dan rasa benci Barirah terhadap Mughits?”
Kemudian beliau berkata pada Barirah, ”Seandainya engkau kembali kepada Mughits?”
Barirah bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku?”
“Tidak,” kata Rasulullah SAW, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.”
“Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah.
Cinta, Anugerah Ilahi
Cinta adalah rasa yang terdalam dalam diri manusia. Ia hanya diketahui oleh yang bersangkutan dan Allah SWT yang menggenggam hati manusia. Beragam cara yang dilakukan manusia untuk merebut cinta dari sang pujaan hati. Cinta itu akan sia-sia bila rasa cinta belum dianugerahkan kepada si dia untuk kita miliki.
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. ” (Ar-Rum [30]: 21).
Dari ayat di atas, jelas bahwa Allahlah yang akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang antara suami-istri. Adapun rasa cinta atau sayang antara dua orang yang tidak ada hubungan apa-apa, ia bukanlah cinta yang diridhai Allah SWT. Ia lebih kepada hawa nafsu atau sekadar perasaan yang timbul karena faktor-faktor tertentu. Di antaranya, mungkin seringnya bertemu karena kebetulan satu profesi, satu kantor, teman sekampus dan lain lain. Perlu diketahui bahwa setan tidak akan henti-hentinya menggoda manusia sampai terjerumus kepada dosa.
Tetapi tidak menutup kemungkinan cinta dalam ikatan perkawinan bisa memudar sebagaimana yang terjadi antara Barirah dan Mughits karena beragam sebab. Hanya iman yang kuat yang dapat melanggengkan rasa cinta dalam perkawinan, karena cintanya dilandasi cinta karena Allah SWT.
Namun, dari ayat di atas ini pula orang-orang yang membenci Islam mengartikan kalimat “…Dia menciptakan pasanganmu dari jenismu sendiri …” sebagai pembolehan mencintai dan menikah dengan sesama jenis. Laki-laki menikah dengan laki-laki, perempuan menikah dengan perempuan.
Padahal, arti sebenarnya dari kalimat ini adalah manusia akan menikah dengan manusia, bukan dengan jenis binatang atau bangsa jin.
Tidak ada yang ditimpa bencana dengan penyakit ini sebagaimana di lakukan umat semasa Nabi Luth Alaihisalam, kecuali orang yang dijauhkan dari pandangan Allah SWT, hingga ia terusir dari pintu-Nya dan jauh hatinya dari Allah SWT.
“Dan (Kami telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan syahwatmu (kepada mereka), bukan kepada perempuan, kamu benar benar kaum yang melampaui batas.” (Al-A’raf [7]: 80-81).
Cinta Kasih Suami-Istri
Rasa cinta yang tumbuh di antara suami-istri merupakan cinta yang sifatnya fitrah. Tidaklah tercela orang yang senantiasa memiliki rasa cinta asmara kepada pasangan hidupnya yang sah. Bahkan hal itu merupakan kesempurnaan yang semestinya disyukuri. Rasulullah SAW sebagai manusia yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugrahi rasa cinta kepada para istrinya. Ketika beliau ditanya oleh sahabatnya yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, ”Aisyah.” Aku (’Amr ibnul ‘Ash) berkata, “Dari kalangan lelaki?”
“Ayahnya (Abu Bakar)!”
Rasulullah SAW juga membela dan memuji Khadijah bintu Khuwailid Radhiyallahu ‘anha (RA) ketika ‘Aisyah RA cemburu kepadanya: “Sesungguhnya aku diberi rezeki yaitu mencintainya?”
Perasaan cinta kepada pasangan hidup kita, kadang mengalami gejolak sebagaimana pasang surut yang dialami sebuah kehidupan rumah tangga. Tinggal bagaimana kita menjaga tumbuhnya cinta itu agar tidak layu, terlebih mati.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk merawat cinta kasih di antara suami-istri. Misalnya, dengan menumbuhkan rasa saling mengerti dan memahami sifat dan karakter masing-masing. Tidak ada salahnya bila kita memahami dan mengerti dunia kerja pasangan kita. Hal ini akan menumbuhkan sikap saling mendukung dan menguatkan bila suatu saat pasangan kita mengalami permasalahan.
Memerhatikan hal-hal yang terkesan remeh, itu juga bisa melanggengkan rasa cinta dihati. Contohnya, menjaga penampilan atau mengucapkan kata-kata romantis pada pasangan kita. Rasulullah SAW berkata, ”Ucapan suami kepada istrinya: ‘Aku mencintaimu’, tak akan pernah hilang dari hati istrinya untuk selamanya.”
Al-Hasan bin Jahm telah meriwayatkan dari Ali bin Musa Al-Ridha, ”Aku pernah melihat Abu Hasan berhias. Lantas aku bertanya: ‘Aku menjadikan diriku sebagai tebusan dirimu. Apakah engkau sedang menghias diri?’ Ia menjawab: ‘Ya, sesungguhnya berhias dan berkeinginan agar tetap tampil indah dipandang mata adalah suatu perbuatan yang dapat menambah kelembutan pada perempuan. Demi Allah, perempuan itu tidak mau memelihara diri disebabkan suaminya tidak mau berhias agar tetap sedap dipandang mata. Sebagian akhlak para nabi ialah menjaga kebersihan, memakai wangi-wangian, mencukur rambut dan banyak mencampuri istri mereka.”
Cinta Sesungguhnya
Cinta yang senantiasa terpelihara mesra dengan pasangan kita adalah anugerah yang terindah. Namun, hendaknya kita bisa menempatkan cinta itu pada tempat yang semestinya. Jangan sampai cinta pada belahan hati melupakan cinta yang seharusnya lebih kita utamakan, yaitu cinta kepada yang mempunyai cinta, Allah SWT. Tidak sedikit manusia yang lalai atau terjerumus karena cinta. Cinta kepada manusia tidak akan berlangsung lama. Maka cinta kepada Allah SWT adalah cinta yang abadi.
“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik?” (At-Taubah [9]: 24). [Sri Lestari/Suara Hidayatullah/muslimfamilia.com]
0 comments:
Post a Comment