latest Post

Menantu Versus Ibu Mertua

Menantu mertua


Kalau ada sosok yang paling ditakuti, sekaligus dibatin oleh para isteri mungkin sosok itu adalah ibu mertua.

Baiklah, bisa jadi saya berlebihan. Ibu mertua kan juga ibu kita sendiri. Ibu yang membesarkan suami kita, hingga setampan dan sepandai ini. Hingga karirnya melambung begini dan uangnya melimpah setiap hari. Lalu uangnya kemana lagi larinya kalau bukan ke kita sebagai isteri?

Tapi sering kali kita lupa, inilah salah satu akar masalahnya. Penyebab drama menantu perempuan "versus" ibu mertua berlangsung lebih panjang dan lebih lama dari sinetron Tersanjung, yang seingat saya sekuelnya tidak habis-habis. Mulai dari kelas 1 SMP hingga duduk di bangku kuliah.

Dulu ada teman yang pernah bercerita, tiap mertuanya datang ke rumah, ia tidak bisa tidur siang. Sepele memang. Tapi tidak bisa tidur siang ini jadi runcing karena Si Ibu Mertua sering mengadu ke anak kandungnya yang lain, bahwa Si Menantu tidur siang sementara Sang Suami panas-panas bekerja di proyek.

“Kamu bayangin deh, kalau mertua telepon kakak iparmu, di depanmu, terus ngadu kalo kamu males, tidur mulu padahal suami lagi kepanasan. Sakit hati nggak?”

“Padahal tidur siangku ini kebutuhan suami juga. Biar malemnya badanku seger, jadi bisa melayani dia,” curhatnya pada saya.

Dan masalah tidur ini selesai setelah suami menasehati isteri, agar menahan diri untuk tidak tidur saat Si Ibu di rumah. Istri menurut, dan mertua tak lagi meributkan itu.

Ada juga menantu lain yang cerita, betapa ibu mertuanya cemburu setiap suaminya memberinya uang untuk membeli barang-barang pribadinya. Padahal itu memang nafkah wajib dari suami bagi isterinya. Jadilah ia menahan diri untuk tidak terlalu “cantik” saat berkunjung ke rumah mertua. Dan meminta suami lebih banyak memperhatikan ibunya, serta mengirimi uang secara rutin.

Apakah berati Sang Mertua matre? Tentu tidak sekejam itu. Kita, ibu-ibu muda ini, suatu saat akan menua dan punyai menantu pula. Manalah mungkin kita terpikir untuk matre, sementara kepala keluarga di sana adalah anak kita sendiri.

Mertua memang membutuhkan perhatian. Perhatian yang istimewa dari Si Jagoan Kesanyangan yang dulu ia gendong-gendong sambil mencuci. Yang rengekannya bisa membuatnya meninggalkan masakan, bahkan sampai tak bisa mandi.

Anak lelaki, yang digadang-gadang jadi pelindungnya kalau besar nanti, yang ia suapi, ia ceboki, ia antar sekolah setiap hari, yang ia doakan agar bisa jadi orang, punya pekerjaan mapan.

Anak lelaki itu lalu jatuh cinta pada kita. Tiba-tiba menemukan sosok wanita lain, yang lebih istimewa dari ibunya. Menyerahkan seluruh pendapatannya untuk kita. Serumah dengan kita. Sibuk dengan kita dan anak-anak kita.

Apa kabar wanita yang merawatnya tadi? Tidak cemburu, dan sakit hati, itu sudah sangat layak kita syukuri.

"Ah, kamu bisa bicara begini kan karena belum ngerasain gimana rasanya serumah dengan mertua."

Benar, saya sendiri malu menulis ini. Mengingat bakti saya pada ibu mertua yang jauuuh dari layak. Alhamdulillah, mertua saya sendiri tipe wanita Jawa yang nrimo. Lima dari enam anaknya lelaki semua. Beliau pun harus menghadapi lima karakter menantu yang berbeda-beda. Dan saya, sebagai menantu terakhir, tinggal mengikuti ritme keluarga besar ini saja.

Tidak pernah ada konflik, mungkin memang karena pertemuan kami pun jarang. Ibarat pepatah jawa, "Adoh mambu wangi, cedhak mambu tai." Yang jauh lebih dikasihi, tapi yang dekat malah sering digrenengi.* 

Ini bisa dimaklumi. Teorinya, seringnya pertemuan dan intensnya berkomunikasi tentu memperbesar peluang salah ucap dan perbuatan.

Ibu mertua, sampai kapan pun tidak akan pernah menjadi ibu kandung kita. Dan bagi mertua, kita tidak akan pernah menjadi anak kandungnya. Meski ditingkahi dengan kalimat “anak dan menantu sama saja”

Ibu saya, suatu ketika pernah bilang, “Anak mantu sak jinah ora isoh ngijoli anak wedok siji.” Kurang lebih artinya, memiliki mantu wanita sepuluh orang pun, posisinya tetap tidak akan bisa menggantikan anak perempuan yang ia kandung sendiri.

Biarlah hukum alam ini tetap ada. Hubungan kandung tidak perlu digadang akan tercipta. Tapi harmoni dengan ibu mertua, wajib ada. Mengingat ia yang lebih dulu ada, jauh sebelum suami tergila-gila pada kita.

Tadi malam, sebelum tidur, saya sampaikan kepada suami,
“Anakku lelaki semua. Berarti besok menantuku perempuan semua. Tolong ingatkan Bunda ya, kalau besok-besok judes sama menantu. Biar menantu tetap betah punya mertua seperti Bunda.”

Dan seperti biasa, ia tergelak-gelak. Lalu mengatakan anak kami pasti akan memilih istri sholehah untuk mengimbangi ibu mertua segarang saya.

Aah, saya jadi ingat lagu milik Waljinah, penembang favorit saya. Judulnya “Caping Gunung”. Bait awalnya bercerita tentang rasa rindu orangtua pada anak lelakinya, yang dulu dirawat dengan segenap hati, lalu kini tak ada kabar setelah jadi orang.

Tiba-tiba saya seperti masuk ke dalam mesin waktu. Sambil memeluk bungsu kami yang saat itu tertidur pulas, saya bayangkan suatu ketika nanti, akan ada yang selalu dipeluknya. Rengekannya berganti rayuan, yang bukan tertuju pada saya. Tak akan ada lagi laki-laki kecil yang meminta telor ceplok tabur kecap, karena posisi itu sudah digantikan wanita baru.

Ah, menantu. Betapa aku sudah iri padamu, bahkan sebelum aku tahu siapa kamu. (Catatan Wulan Darmanto, seorang ibu dari dua anak lelaki)

*Bicara tentang keburukan, tapi tidak langsung disampaikan kepada orang yang bersangkutan.
Recommended Posts × +

0 comments:

Post a Comment