Air mata menderas dari pelupuk mata Shah Jahan. Istri yang dicintainya, Mumtaz Mahal, menghembuskan nafas terakhir setelah mengalami pendarahan hebat dalam persalinan panjang selama 30 jam. Ketika itu, 17 Juni 1631, Mumtaz Mahal sedang menemani sang raja tercinta dalam sebuah ekspedisi militer bersama bala tentaranya di Burhanpur.
Dalam 19 tahun pernikahannya, Shah Jahan dan Mumtaz Mahal dikaruniai 14 orang anak. Maka wajar bila kepergian Mumtaz Mahal memberikan kedukaan mendalam bagi Shah Jahan. Ia menyendiri dan meratap selama setahun lamanya, dan muncul kembali di hadapan rakyatnya dengan rambut yang telah memutih, punggung bungkuk, dan wajah penuh keriput.
Menurut cerita, sebelum kematiannya, Mumtaz Mahal sempat meminta suaminya untuk membuatkan sebuah monumen sebagai simbol cinta mereka. Maka selepas berkabung, Shah Jahan mendirikan sebuah mausoleum yang memerlukan 22 tahun, 20.000 pekerja, dan 1.000 gajah dalam proses pembangunannya. Bangunan yang dikenal dengan nama Taj Mahal ini, kini diakui sebagai salah satu dari keajaiban dunia.
Bagi sebagian besar kita, kisah tersebut hanyalah sekelumit bagian dari pelajaran sejarah. Tapi tidak bagi pasangan Nazrul Anwar dan Ratna Sogian Siwang. Sejarah kembali berulang pada 17 Oktober 2013, ketika hari tersebut menjadi hari paling membahagiakan sekaligus paling memilukan bagi keluarga kecil mereka. Seorang bayi bernama Karel Sulthan Adnara terlahir di dunia, dan sesaat kemudian menjadi piatu karena ibunya meninggal akibat pendarahan pasca-melahirkan.
Setelah ketubannya pecah pada pukul 4 pagi hari itu, Ratna sempat menunaikan shalat, membersihkan diri, dan mandi sebelum akhirnya melahirkan pada pukul 7. Proses persalinan terbilang sangat lancar untuk kelahiran bayi pertama. Ratna bahagia sekali. Belum pernah Nazrul melihat wanita yang baru 13 bulan dinikahinya sebahagia itu.
Sembari Ratna mendapatkan perawatan bidan, sang bayi dibaringkan tengkurap dan melakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Nazrul pun mengumandangkan adzan dan iqamat di telinga putranya. Sambil tertawa bahagia, Ratna sempat mengucap pesan kepada buah hatinya, yang ternyata itu adalah pesan terakhir untuknya: “Yang sabar ya, Nak. Yang kuat.”
Di saat itulah, sesaat setelah bayi Karel mendapatkan ASI pertamanya, terlihat ada darah yang mengalir dari rahim Ratna. Ratna pun langsung dilarikan ke rumah sakit, mendapat perawatan dokter selama kurang lebih 45 menit, sampai akhirnya tak tertolong karena terlalu banyak kehilangan cairan dan darah.
Letters to Karel
Saya tidak pernah mengenal Nazrul sebelumnya. Persentuhan pertama saya dengan tulisan Nazrul adalah lewat Letters to Karel #3, note Facebook-nya yang ditulis 29 Oktober 2013. Salahnya, saya membuka note yang di-share oleh seorang teman di linimasa itu, ketika sedang lembur malam di kantor bersama rekan-rekan kerja. Walhasil, dengan susah payah saya harus menyembunyikan wajah. I cry like a little girl.
Ketika itu, saya bersama istri memang sedang bahagia-bahagianya dengan kelahiran putra pertama kami, Muhammad Ahsani Taqwim, yang lahir 3 September 2013. Itulah mengapa segala hal yang berkaitan dengan memiliki bayi adalah hal yang sangat berarti bagi kami.
Singkat cerita, saya dan istri pun menjadi pembaca setia Letters to Karel. Lewat note demi note yang ditulis ayah untuk anaknya ini, Nazrul mengenalkan sosok ibu yang melahirkan Karel serta menceritakan perjuangannya membesarkan bayi tanpa sosok seorang ibu. Setiap tulisannya dikemas dengan warna ketegaran yang sulit saya jelaskan dengan kata. Kegetirannya nyata, namun tertutupi dengan kesabaran dan afirmasi positif.
“Kamu tahu, Karel? Tak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang paling kita cintai. Tapi kalau kita berusaha untuk menerima, semenyakitkan apapun proses penerimaan tersebut, percayalah, rasa cinta yang lebih besar perlahan akan datang dalam kehidupan kita, entah dari siapa dan bagaimana caranya. Tak ada yang lebih menakutkan selain hidup tanpa orang yang paling kita cintai. Tapi kalau kita bisa melewatinya dengan baik, percayalah, ketakutan hanya akan menjelma kerikil kecil yang berserakan di jalan, yang bisa kamu injak atau kamu tendang sesuka hati kamu.”
Rangkaian notes ini pun mendapatkan respon yang luar biasa dari jagat maya. Tidak hanya dari mereka yang memiliki anak, perhatian juga datang dari mereka yang masih menantikan momongan hingga mereka yang sedang memantaskan diri menuju pelaminan.
Jangan salah, mereka bukan berbondong-bondong ingin membanjiri Nazrul dan Karel dengan empati, apalagi rasa kasihan. Untaian kebijaksanaan yang terlahir dari ilmu penulisnya yang luas sebagai Manager Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Strategis — PPSDMS Nurul Fikri, menjadikan Letters to Karel sebagai tempat yang nyaman bagi siapapun untuk belajar. Tak jarang, tema yang dibahas memiliki hikmah yang begitu mendalam hingga membuat kita merasa tak lebih tahu dibandingkan bayi Karel.
Sebut saja perjuangan Nazrul dalam memenuhi kebutuhan ASIP (Air Susu Ibu Perahan) untuk Karel. Proses itu bermula dari mencari para ibu baik hati yang mau berbagi ASI-nya. Setelah melakukan verifikasi dari aspek kesehatan, keturunan, usia bayi yang dimiliki, agama, dan sebagainya, Nazrul menjemput ASIP beku ke rumah para pendonor menggunakan tas berpendingin.
Tentu saja ASIP beku tidak bisa langsung diminum. Harus didiamkan dulu sampai mencair, kemudian dihangatkan dan disterilkan. Repotnya lagi, ASIP yang yang sudah cair tidak boleh dibekukan kembali, dan ASIP yang sudah dihangatkan tidak boleh dihangatkan kembali. Artinya, dibutuhkan pola khusus agar setiap Karel lapar, ASIP sudah siap tersedia dengan jumlah yang tepat.
Satu pendonor paling banyak mendonorkan ASI-nya 1000 ml/minggu, ada yang kurang dari itu. Di masa-masa awal, ASI dari satu pendonor dalam seminggu hanya bisa memenuhi kebutuhan Karel paling lama dua hari. Kebutuhan ini terus bertambah seiring usianya, yang juga diikuti dengan bertambahnya kebutuhan ASI bayi pendonor. Semua kerepotan ini, adalah upaya Nazrul memenuhi keinginan dari Ratna semasa hidup untuk memberikan ASI kepada bayinya selama dua tahun penuh.
Allah pun menunjukkan rahmatnya dengan menghadirkan satu demi satu keluarga yang sukarela membagi ASI-nya untuk Karel. Entah itu mengetahui dari Letters to Karel, mulut ke mulut, maupun perantara lainnya. Sebagian besar pendonor adalah wanita karier, yang sebenarnya bersusah payah memerah ASI untuk persediaan bayinya ketika mereka pergi bekerja. Ada pula ibu rumah tangga, yang mayoritas belum pernah memerah ASI karena memang tidak ada kebutuhan untuk itu.
Dengan keterbatasan yang ada, masing-masing berupaya mencukupi kebutuhan Karel, bayi yang tidak memiliki hubungan apapun dengan mereka. Berkat semua itu, di usianya yang kini telah menginjak dua tahun, Karel pun sukses menyelesaikan program ASI-nya. Hal ini seakan menjadi tamparan keras bagi mereka yang dengan gampangnya memberikan susu formula sebagai pelengkap, bahkan pengganti ASI, di saat bayinya belum genap menyusu selama dua tahun.
Melalui Letters to Karel, kita bisa menyaksikan pertumbuhan Karel sebagai seorang anak dan pertumbuhan Nazrul sebagai seorang ayah. Dari sosok Ratna, pembaca juga bisa memetik banyak sekali pelajaran tentang menjalani kehidupan. Mulai dari keringanan hati untuk membantu sesama, kecintaan dan ketaatan pada suami, bakti kepada orang tua, komitmen untuk tidak merepotkan orang lain, kelihaian mengelola keuangan keluarga, hingga prioritas untuk mendidik anak di atas segalanya.
Membukukan Kisah, Mengabadikan Hikmah
“Happy families are all alike; every unhappy family is unhappy in its own way,” tulis Leo Tolstoy dalam salah satu karyanya, Anna Karenina. Setiap keluarga yang tidak bahagia, tidak bahagia dengan sebabnya masing-masing. Adapun setiap keluarga bahagia, memiliki kemiripan satu sama lain. Kalimat yang sepintas membingungkan, namun pesannya sederhana: Betapapun beragamnya kondisi yang menguji setiap keluarga, kebahagiaan tetap dapat diraih oleh siapapun yang benar-benar mau memperjuangkan kebahagiaannya.
Setelah lebih dari dua tahun sejak note pertama ditulis, Letters to Karel kini bisa dibaca dalam bentuk buku. Sebagai bagian dari keluarga besar pendonor ASIP untuk Karel, alhamdulillah saya dan istri berkesempatan untuk mendapatkan buku cetakan pertamanya dari Nazrul. Melalui buku yang diterbitkan secara self-published ini, kita bisa menemukan beberapa notes yang belum pernah dipublikasikan di Facebook, termasuk bagian khusus “Surat dari Ummi” yang ditulis Nazrul dari sudut pandang Ratna berdasarkan diary milik Ratna serta hasil diskusinya bersama Nazrul tentang masa depan keluarga kecil mereka.
Kekurangan dari buku ini, yang cukup saya sayangkan, adalah tidak dicantumkannya tanggal penulisan dari setiap surat. Padahal salah satu yang membuat Letters to Karel begitu menarik, adalah mengikuti perkembangan Nazrul dan Karel dari minggu ke minggu, bulan ke bulan. Hal ini mungkin tidak masalah bagi kami yang mengikutinya secara berkala, tapi tentunya fitur ini menjadi penting bagi pembaca yang baru menapaki kisah mereka melalui buku ini.
Menarik juga ketika mengetahui dari Letters to Karel #35 —yang belum pernah dihadirkan selain di buku ini, bahwa salah satu alasan surat-surat ini dibuat tidak lain adalah karena permintaan Ratna sendiri.
“Beberapa bulan sebelum ummi meninggal, ummi meminta abi untuk membuat tulisan tentang ummi. Waktu itu abi agak enggan, kenapa harus menulis tentang ummi yang setiap hari ketemu dan bisa langsung bicara? Ummi kamu tetap ngotot, pokoknya minta dibuatkan tulisan tentangnya. Karena kesibukan abi waktu itu, kami berkompromi. Abi janji akan menulis tentang ummi, tapi nanti-nanti kalau sudah luang. Sampai ummi pergi untuk selamanya, abi belum sempat memenuhi janji tersebut.
Dan baru sekarang janji itu genap tertunaikan. Siapa sangka, tulisan yang ummi minta itu pada akhirnya bisa menjadi terapi yang ampuh bagi abi untuk menyembuhkan kesedihan dan keterpurukan atas kepergian ummi, bahkan membangkitkan kembali mimpi-mimpi yang sempat terkubur, menciptakan kembali mimpi-mimpi baru untuk keluarga kecil kita.”
Dengan demikian, Letters to Karel telah menjelma sebagai pemenuhan janji seorang suami pada istrinya, penawar kesedihan seorang pria yang ditinggalkan kekasihnya, sekaligus jalan untuk mengenalkan seorang anak kepada ibunya. Tak berhenti sampai di situ, padanya terangkum banyak pelajaran bagi siapapun yang mau membuka hatinya. Letters to Karel pun telah jauh melampaui Taj Mahal, yang semata dibangun untuk memenuhi janji. Namun keduanya memiliki semangat yang sama, mengabadikan kejadian di masa lalu untuk dapat direguk hikmahnya oleh generasi di masa depan.
Maka tepatlah bila review buku ini ditutup dengan mengutip syair Rabindranath Tagore, mengenai sebuah karya agung yang selamanya akan dinikmati oleh penduduk dunia:
"Kau tahu, Jahan, bahwa kehidupan dan masa muda,
kekayaan dan kejayaan, semuanya hanyut dalam arus waktu.
Karena itu engkau berupaya mengabadikan kedukaan hatimu.
Maka biarlah keindahan berlian, mutiara dan rubi, sirna layaknya kilau pelangi.
Kecuali setetes air mata ini, Taj Mahal ini,
yang berkilau terang di pipi sang kala, selama-lamanya."
[Wicaksono Adi/muslimfamilia.com]
0 comments:
Post a Comment