Ada beberapa hal yang patut anda perhatikan dalam upaya menumbuhkan keluarga bahagia menurut ajaran Islam, diantaranya:
1. Fikrah yang jelas
Pemikiran Islami tentang tujuan-tujuan dakwah dan kehidupan keluarga merupakan unsur pentng dalam perkawinan. Ini adalah syarat utama. Keluarga islami bukanlah keluarga yang tenang tanpa gejolak. Bukan pula keluarga yang berjalan di atas ketidakjelasan tujuan sehingga melahirkan kebahagiaan semu.
Kalaulah Umar bin Khattab memberi peringatan keras kepada para pedagang di pasar yang tidak memahami fiqih (perdagangan), maka layak dipandang sebagai sebuah kekeliruan besar seseorang yang menikah namun tak memahami dengan jelas apa hakekat dan tuntunan pernikahan dalam Islam, serta bagaimana kaitannya dengan kemajuan syiar agama Allah SWT.
2. Penyatuan idealisme
Ketika ijab-qabul dikumandangkan di depan wali, sebenarnya yang bersatu bukanlah sekedar jasad dua makhluk yang berlainan jenis. Pada detik itu sesungguhnya tengah terjadi pertemuan dua pemikiran, perjumpaan dua tujuan hidup, dan perkawinan dua pribadi dengan tingkat keimanan masing-masing. Karena itu, penyatuan pemikiran dan idealisme akan menyempurnakan pertemuan fisik kedua insan.
3. Mengenal karakter pribadi
Kepribadian manusia ditentukan oleh berbagai unsur lingkungan: nilai yang diyakini, dan pengaruh sosialisasi perilaku lingkungan terdekat. Mengenal secara jelas karakter pasangan hidup adalah bekal utama dalam upaya penyesuaian, penyeimbangan dan bahkan perbaikan.
Satu catatan penting mengenai hal ini ialah anda harus menyediakan kesabaran selama proses pengenalan itu berlangsung, sebab hal itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
4. Pemeliharaan kasih sayang
Sikap rahmah (kasih sayang) kepada pasangan hidup dan anak-anak merupakan tulang punggung kelangsungan keharmonisan keluarga. Rasulullah SAW menyapa 'Aisyah dengan panggilan yang memanjakan, dengan gelar yang menyenangkan hati. Bahkan beliau membolehkan seseorang "berbohong" (merayu, bermulut manis) kepada pasangan hidupnya dalam rangka membangun kasih sayang.
Suami atau istri harus mampu menampilkan sosok diri dan pribadi yang dapat menumbuhkan rasa tenteram, menyenangkan, dan "ngangenin". Ingat, hanya dengan rasa kasih sayanglah pasangan hidup akan dapat membagi beban, meredam kemelut, dan menguatkan satu sama lain.
5. Kontinuitas tarbiyah
Tarbiyah (pendidikan) merupakan kebutuhan asasi setiap manusia. Para suami yang telah aktif dalam medan dakwah biasanya akan mudah mendapatkan hal ini. Namun, isteri juga memiliki hak yang sama. Pemenuhan kebutuhan akan ilmu agama istri merupakan tanggung jawab suami.
Karena pemenuhan kebutuhan tarbiyah pada kaum wanita begitu penting, maka Rasulullah SAW meluluskan permintaan ta’lim (pengajaran) para wanita muslimah yang datang kepada beliau. Beliau memberikan kesempatan khusus bagi pembinaan wanita dan kaum ibu (ummahaat). Perbedaan perlakuan tarbiyah antara suami dan isteri akan membuat timpang pasangan itu dan akibatnya tentu kegoncangan rumah tangga.
6. Penataan ekonomi
Turunnya Surat al Ahzab yang berkaitan dengan ultimatum Allah SWT kepada para isteri Nabi SAW, erat kaitannya dengan persoalan ekonomi. Islam dengan tegas telah melimpahkan tanggung jawab nafkah kepada suami, tanpa melarang isteri membantu beban ekonomi suami jika kesempatan dan peluang memang ada, dan tentu selama masih berada dalam batas-batas syar'i.
Suami harus bekerja keras agar dapat memberikan pelayanan fisik kepada keluarga. Sedangkan qanaah (bersyukur atas seberapa pun hasil yang diperoleh) adalah sikap yang patut ditampilkan isteri. Persoalan-persoalan teknis yang menyangkut pengelolaan ekonomi keluarga dapat dimusyawarahkan dan dibuat kesepakatan antara suami dan isteri. Kebahagiaan dan ketenangan akan lahir jika di atas kesepakatan tersebut dibangun sikap amanah (benar dan jujur).
7. Sikap kekeluargaan
Pernikahan antara dua anak manusia sebenarnya diiringi dengan pernikahan ”antara dua keluarga besar”, dari pihak isteri dan juga suami. Selayaknyalah, dalam batas-batas yang diizinkan syari’at, sebuah pernikahan tidak menghancurkan struktur serta suasana keluarga. Pernikahan janganlah membuat suami atau isteri kehilangan perhatian pada keluarganya (ayah, ibu, adik, kakak dan seterusnya). Menurunnya frekuensi interaksi fisik (dan ini wajar) tidak boleh berarti menurun pula perhatian dan kasih sayang.
Sebaliknya, perlu ditegaskan juga bahwa pernikahan adalah sebuah lembaga legal (syar’i) yang harus dihormati keberadaannya. Sebuah kesalahan serius terjadi tatkala seorang isteri atau suami menghabiskan perhatiannya hanya untuk keluarganya msing-masing sehingga tanggung jawabnya sebagai pasangan keluarga di rumahnya sendiri terbengkalai.
8. Pembagian beban
Meski ajaran Islam membeberkan dengan jelas fungsi dan tugas elemen keluarga (suami, isteri, anak, pembantu) namun dalam pelaksanaannya tidaklah kaku. Jika Rasulullah SAW menyatakan bahwa seorang isteri adalah pemimpin bagi rumah dan anak-anak, bukan berarti seorang suami tidak perlu terlibat dalam pengurusan rumah dan anak-anak.
Ajaran Islam tentang keluarga adalah sebuah pedoman umum baku yang merupakan titik pangkal segala pemikiran tentang keluarga. Dalam tindakan sehari-hari, nilai-nilai lain, misalnya tentang itsar (memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain), ta’awun (tolong menolong), rahim (kasih sayang), dan lainnya juga harus berperan. Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi SAW: bercengkrama dengan anak dan cucu, menyapu rumah, menjahit baju yang koyak dan lain-lain.
9. Penyegaran
Manusia bukanlah robot-robot logam yang mati. Manusia mempunyai hati dan otak yang dapat mengalami kelelahan dan kejenuhan. Nabi SAW bahkan mengritik seseorang yang menamatkan Al Quran kurang dari tiga hari, yang menghabiskan waktu malamnya hanya dengan shalat, dan yang berpuasa setiap hari.
Dalam ta’lim, beliau SAW juga memberikan selang waktu (dalam beberapa riwayat per pekan), tidak setiap saat atau setiap hari. Variasi aktivitas dibutuhkan manusia agar jiwanya tetap segar. Keluarga yang bahagia tidak akan tumbuh dari kemonotonan aktivitas keluarga. Di samping tarbiyah, keluarga juga membutuhkan rekreasi (perjalanan, diskusi-diskusi ringan, kemah, dll).
10. Menata diri
Allah SWT mengisyaratkan hubungan yang erat antara ketaqwaan dengan yusran (kemudahan), dan makhrojan (jalan keluar). Sedangkan faktor kefasikan atau rendahnya iman identik dengan kesukaran, kemelut, dan jalan buntu. Patutlah pasangan muslim senantiasa menata dirinya masing-masing agar selalu berada di jalan taqwa.
11. Mengharapkan rahmat Allah
Ketenangan dan kasih sayang dalam keluarga merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Rintangan-rintangan menuju kebahagiaan hidup berkeluarga tidak saja disebabkan oleh internal manusia, namun juga dapat muncul dari faktor eksternal, termasuk di dalamnya adalah gangguan setan dan jin. Karena itu, hubungan vertikal dengan al Khaliq harus dijaga sebaik mungkin melalui ibadah dan doa.
Wallahu a’lamu.
Sumber : Islah, No.4/Th II
0 comments:
Post a Comment