latest Post

Positive Parenting Menurut Pandangan Imam Al-Ghazali (2)

Positive Parenting Menurut Pandangan Imam Al-Ghazali

Sambungan dari Positive Parenting Menurut Pandangan Imam Al-Ghazali (1)

Kedua, metode keteladanan. Dalam rangka membawa manusia menjadi manusiawi, Allah telah menciptakan Rasulullah sebagai pribadi teladan yang baik. Demikian halnya dengan guru. Dalam pandangan al-Ghazali, guru adalah pewaris nabi dan subyek pendidikan, maka haruslah menjadi teladan bagi anak didiknya. Dan orang tua tidak lain adalah guru bagi anak-anaknya.

Berkaitan dengan hal tersebut al-Ghazali memberikan penjelasan seperti apa yang dikemukakannya:

“Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatanya…. Perumpamaan guru yang membimbing murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya, bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok.“ (al-Ghazali, Ihya’Ulummuddin,  juz 8 hal. 105-109).

Hal di atas menegaskan betapa al-Ghazali sangat menekankan keteladanan dalam pendidikan moral. Orang tua harus bisa memulai dan berbuat lebih dahulu (learning by doing) apa yang diajarkannya pada anaknya, sebab kalau tidak itu justru akan berdampak buruk pada anak. Anak akan kehilangan kepercayaan pada orang tua yang keteladanannya hanya sebatas di lisan saja. Orang tua adalah arketip bagi anak-anaknya.

Ketiga, tazkiyah nafs (metode penyucian diri). Dilihat dari segai muatan nilainya, metode ini adalah metode tingkat lanjut, yang strategi parenting di masa remaja dan masa dewasa awal. Metode ini terdiri dari dua langkah yaitu takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan sifat terpuji.

Proses penyucian jiwa menekankan pentingnya orang tua sebagai pembimbing moral dan panutan penyucian diri, pencerahan, pembersihan jiwa. Sebagaimana seorang sufi harus memahami tingkat-tingkat atau kondidsi penyakit jiwa yang dialami oleh murid, demikian halnya orang tua sebagai guru bagi anak-anaknya harus benar-benar mengetahui kondisi jiwa anak-anaknya itu. Dengan demikain keberadaan orang tua aakan bersifat solutif bagi problematika hidup yang dihadapi anak.

Kalangan orang tua pun harus sering bertukar fikiran satu sama lain agar terciptakan suatu tradisi sharing bersama atau groupthinking yang berisi pengalaman-pengalaman dan pelajaran menjadi orang tua, sehingga mereka bisa lebih dinamis lagi dalam mendidik anak-anak mereka. (Ridwan Munawwar/muslimfamilia.com)

Sumber: alrasikh.uii.ac.id
Recommended Posts × +

0 comments:

Post a Comment