Sebagaimana layaknya sebuah organisasi, memiliki visi
merupakan suatu hal yang mesti ada dalam sebuah keluarga. Namun sering sekali
hal penting ini terlewatkan dalam bingkai kehidupan keluarga muslim. Padahal
banyak ayat dalam al-Qur’an yang sudah Allah tetapkan agar menjadi visi sebuah
keluarga.
Ketika diajukan pertanyaan, "Apa visi keluarga Anda?", maka sering sekali
sebagian kita menjawab dengan datar, "Ya..., jadi keluarga sakinah". Jawaban
itu terlontar begitu saja hanya karena seringnya orang mengatakan tentang keluarga
sakinah, bukan karena benar-benar paham tentang konsep tersebut. Bahkan Tak ada
ayat tak ada hadits yang bisa dijadikan sandaran, yang penting adalah ingin
jadi keluarga baik.
Kalau sekedar jadi keluarga baik, tenang, atau bahagia di
dunia tanpa wahyu yang menjadi landasan, lalu apa yang menjadi kebanggaan kita
sebagai seorang muslim? Maka, memiliki visi dalam hidup berkeluarga adalah hal yang penting, lebih penting lagi memiliki visi yang berbasis wahyu alias al-Qur’an, agar keberhasilan tidak
hanya dinikmati di dunia tapi juga di akhirat nanti.
3 Hikmah Memiliki Visi dalam Hidup Berkeluarga
Secara sederhana, Visi itu adalah sesuatu yang ingin kita wujudkan. Visi selalu diikuti oleh Misi, yaitu langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan Visi. Sekurang-kurang ada tiga hikmah kenapa sebuah keluarga harus memiliki
visi:
1. Aktivitasnya lebih terarah
Menjalankan kehidupan
berkeluarga itu banyak modal yang mesti dikeluarkan. Dari mulai waktu, tenaga,
perasaan, dan yang pasti adalah harta. Jika modal ini tidak dialirkan dengan
fokus maka yang terjadi adalah "tabdzir" (penyia-nyiaan).
"Ya, yang penting
hidup itu mengalir saja. Tidak usah neko-neko", begitu biasanya ungkapan mereka
yang tidak punya visi yang jelas. Sebenarnya tidak ada masalah dengan ungkapan
tersebut. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah "Bermuara ke mana aliran tersebut?". Sebab hidup tidak kosong dari jebakan musuh, khususnya musuh abadi, yaitu setan. Allah
azza wa jalla berfirman,
إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ
لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan
itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala.” (QS. Fathir [35]: 6)
Setan senantiasa menyesatkan manusia dengan berbagai
macam jebakan yang tidak diketahui oleh kebanyakan hamba Allah. Setan
tidak rela jika ada manusia yang taat pada aturan atau hukum Allah. Tak ada
kata menyerah, selama ruh masih menempel pada jasad maka ia tidak akan berhenti
menggoda. Bahkan setan memiliki tugas khusus untuk merusak tatanan keluarga.
Coba perhatikan hadits berikut ini,
Dari Jabir, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Iblis singgasananya
berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat
kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang
melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum
melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang,
sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan
istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata,
‘Sebaik-baik setan adalah kamu.'” (HR. Muslim 2813).
2. Sebagai alat untuk menyelaraskan
perbedaan
Berkeluarga atau berumah tangga itu tidak sendiri. Minimal ada 2 orang yang
saling berdampingan yaitu suami dan istri. Setiap orang punya perbedaan
masing-masing. Bagaimana tidak, karena secara fisik ataupun psikis antara
perempuan dengan laki-laki jelas berbeda. Maka tak heran jika cara berpikirnya
pun berbeda. Belum lagi
ditambah dengan perbedaan kultur, pendidikan, pola pengasuhan yang didapatkan semenjak
kecil, dsb. Tentu ini menambah semakin banyak perbedaan.
Tapi semua ini
tidak mesti harus dicela, dicibir apalagi dihindari. Allah berfirman,
“Dan kami jadikan sebahagian kamu
cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu
maha Melihat.” (QS. Al-Furqan [25]: 20)
Selama masih dalam koridor syar’i, maka perbedaan itu
justru menjadi indah. Syaratnya adalah memiliki kuncinya. Dan di antara kunci untuk menjadikan perbedaan menjadi sesuatu yang indah adalah menghadirkan sebuah visi bersama.
Tanpa sebuah visi, sering sekali
perbedaan itu menjadi pemantik api pertengkaran dan konflik
keluarga. Bahkan meski penyebabnya hanyalah masalah yang sangat sepele. Sehingga tak jarang berujung kepada perceraian atau konflik yang
berkepanjangan. Atau kalaupun tidak bercerai, kehidupan keluarga akan menjadi "kering". Orang sunda bilang "awet rajet.
Alih-alih menjadi sumber motivasi dan inspirasi, justru menjadi sumber masalah dalam
hidup. Tidak sedikit keluarga yang mengalami seperti ini.
Visi bagaikan perekat kehidupan, yang menyatukan puzzle-puzzle perbedaan yang dimiliki oleh semua anggota keluarga. Seperti pelebur ego yang dimiliki oleh setiap individu di dalamnya.
Coba perhatikan, taman yang indah biasanya tidak hanya terdiri dari satu jenis bunga atau satu warna saja. Taman menjadi sedap dipandang karena perbedaan atau variasi bunga yang ditanam dan ditata dengan selaras dan harmonis. Demikian pula dalam berkeluarga.
3. Menumbuhkan harapan
Harapanlah yang membuat
petani menanam, guru mengajar, da’i berdakwah, buruh bekerja, pengusaha
berbisnis, dan orangtua mendidik. Tanpa harapan, semuanya tidak berjalan.
Harapanlah yang memotivasi seseorang untuk bergerak dan berbuat. Maka memiliki
harapan adalah sesuatu yang mesti ada bagi mereka yang mau berhasil.
Harapan, dapat membuat seseorang lebih tangguh dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup. Semakin jelas visinya, maka bahan bakar kesabaran semakin banyak. Semakin siap untuk hadapi banyak tantangan dan rintangan.
Harapan
itu lahir dari sebuah visi. Tak ada visi, maka tak ada harapan. Rancang visi Anda, niscaya harapan itu hadir.
Dalam hidup berkeluarga, banyak sekali potensi terjadinya konflik.
Sederhana saja, persoalan kamar tidur saja bisa jadi masalah; dari mulai warna bed cover, tata letak tempat tidur (bed), hiasan dinding, warna cat tembok, dll. Itu baru urusan yang kecil, belum lagi urusan-urusan yang besar, misalnya tentang pekerjaan suami, tanggungjawab istri, sekolah anak-anak, kendaraan, dan hal-hal lainnya.
Tapi semua itu bisa diminimalisir dengan adanya visi yang jelas. Insya Allah.
Wallahu a’lam. (Bersambung)
Penulis: Hasan Faruqi S.Pd.I.
Pembina KORNI (Komunitas Keluarga Qur’ani) – Banjaran, Pangalengan, Bandung
0 comments:
Post a Comment