latest Post

Katakan Tidak Pada Anak

Boleh mengatakan tidak pada anak

Oleh: Ust. M. Fauzil Adhim
Tidak sah syahadat tanpa mengucap kata tidak. Bermula dari kata tidak, perubahan besar bisa terjadi, dari kafir menjadi Muslim. Bermula dari kata tidak, sebuah risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (SAW) telah mengubah jazirah Arab yang jahiliyah menjadi kekuatan yang disegani dan mencerahkan. Bermula dari kata tidak, ada yang sebelumnya tampak tidak mungkin, menjadi kenyataan yang mengagumkan. Budak-budak dan orang tak berpunya yang awalnya dihinakan oleh manusia, sekarang telah berdiri dengan gagah di depan para raja dan kaisar tanpa gemetar sedikit pun kakinya. Bermula dari kata tidak, rasa rendah diri telah berubah menjadi percaya diri luar biasa tatkala berhadapan dengan para pembesar. Mereka tidak minder, tidak pula sombong.

Adakalanya kata tidak bisa diganti dengan ungkapan lain. “Tidak boleh buang sampah sembarangan” bisa kita tukar dengan kalimat “buanglah sampah pada tempatnya”. Kalimat kedua lebih jelas maksudnya, positif dan mudah dimengerti. Tetapi kalimat “dilarang (tidak boleh) merokok” tidak bisa digantikan dengan kalimat “matikan rokok Anda”. Dilarang merokok berarti penolakan penuh terhadap rokok, sedangkan matikan rokok Anda bermakna masih ada toleransi untuk merokok asalkan tidak di tempat tersebut. Kalimat “dilarang merokok” jelas arahnya: penolakan secara penuh. Tetapi kalimat “harap merokok pada tempatnya” berarti memuliakan para perokok dengan menyediakan tempat yang khusus.

Kata tidak juga bisa menjadi penegas dan penguat pernyataan. Kesaksian bahwa tuhan itu adalah Allah tidak cukup untuk menggambarkan bertauhidnya seseorang. Orang yang berkata bahwa tuhannya adalah Allah, bisa saja pada saat yang sama menghamba kepada yang lain. Tetapi ketika kita bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, kita menegaskan bahwa tidak ada satu pun di muka bumi ini yang layak disembah kecuali Allah. Di sini kata tidak menegaskan kesaksian bahwa tuhan itu Allah. Tak ada yang lain.

Di luar masalah tauhid, manakah yang lebih efektif untuk menyampaikan larangan; menggunakan kata "tidak" dan yang semisal atau kata-kata positif? Mari kita tengok contoh di sekeliling kita. Larangan merokok di negeri kita menggunakan kalimat positif dengan menyebut serangkaian bahaya merokok. Tapi apakah jumlah perokok berkurang drastis? Tidak. Justru bertambah banyak. Sebaliknya di Singapura, larangan merokok menggunakan kalimat larangan yang sederhana. “No smoking!” Dilarang merokok. Ringkas, tajam, dan jelas melarang. Hasilnya? Anda sulit menemukan orang yang merokok.

Tentu penjelasan ini terlalu sederhana. Tapi saya ingin menunjukkan bahwa kata "tidak" adakalanya lebih manfaat (tepat) dalam menyampaikan larangan maupun keyakinan. Benar bahwa terlalu banyak melarang anak membuat mereka sulit berkembang. Tidak kreatif. Saya sendiri sudah pernah menyinggung masalah ini, sehingga ada satu sub judul khusus di buku "Saat Berharga untuk Anak Kita" bertajuk "Jangan Berkata Jangan". Tetapi ini tidak menunjukkan keharusan membuang kata jangan agar pesan kita lebih efektif.

Jika kita menilik al-Qur’an, Anda akan menjumpai nasihat orangtua yang diabadikan oleh Allah Ta’ala. Inilah nasihat Luqman kepada putranya. Ia berkata,…“Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah merupakan kezaliman yang besar.” (Luqman [31]: 13).

Inilah nasihat seorang ayah yang benar-benar mengantarkannya kepada kemuliaan tertinggi, yakni meraih ridha Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah nasihat yang mendapat berkah berlimpah dari Allah Ta’ala; membawa kebaikan kepada yang dinasihati dan mendatangkan pahala bagi mereka yang membaca nasihatnya disebabkan Allah Ta’ala telah abadikan sebagai ayat suci-Nya. Inilah nasihat yang mengantarkan pengucapnya, yakni Luqman, meraih surga Allah SWT. Dan nasihat ini diawali dengan kata "la" (tidak, jangan).

Lalu apa yang perlu kita perhatikan dalam menyampaikan larangan? Catatan sederhana berikut ini, semoga bermanfaat untuk kita semua.

Ikuti dengan Penjelasan

Bukalah al-Qur’an dan akan dapati betapa banyak larangan dari Allah SWT kepada manusia. Perhatikan bagaimana Allah SWT memberi larangan. Misalnya, kita simak pada ayat berikut, “Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh penampilan orang-orang kafir di berbagai negeri. Itu hanyalah kesenangan sejenak, kemudian tempat kembali mereka adalah (neraka) Jahannam, dan itulah tempat yang paling buruk. Namun bagi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya adalah surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, sebagai tempat tinggal di sisi Allah. Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran [3]: 196-198).

Pelajaran apa yang bisa kita petik? Ada penjelasan yang menyertai sehingga menguatkan larangan. Penjelasan ini lebih dikuatkan lagi dengan menerangkan keadaan yang berkebalikan dengan mereka yang menerjang larangan, yakni nikmat surga bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam hal ini, ada larangan, ada penjelasan yang menyertai, dan ada pembanding yang kuat. Jadi, bukan berisi larangan semata.

Cara melarang diikuti penjelasan semacam ini bisa kita jumpai dalam berbagai ayat lainnya, tapi kita tidak merincinya sekarang. Anda bisa membuka sendiri mushaf al-Qur’an di rumah Anda. Yang ingin saya perbincangkan pada kesempatan kali ini adalah, sebagai orangtua ada yang perlu kita perbaiki pada cara kita melarang. Yang paling mudah adalah melarang tanpa memberi alasan. Tetapi ini tidak membuat anak mengerti alasannya, sehingga ketika menjumpai hal-hal yang serupa, ia tidak bisa menerapkan prinsip yang sama. Kita perlu melarang lagi, dan melarang lagi. Kenapa? Karena ia menjauhi larangan tanpa mengerti sebabnya. Atau ia menjauhi larangan semata karena takut kepada kita.

Jadi, usahakanlah untuk memberi penjelasan atas setiap larangan. Penjelasan itu bisa mendahului, bisa juga menyertai larangan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Pola lain yang bisa kita petik dari al-Qur’an adalah larangan disertai alternatif atau pengganti. Mari kita periksa ayat ini, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengatakan (kepada Muhammad), “Raa’ina (simaklah kami),” tetapi katakanlah, “Unzhurnaa (dengarlah kami).” Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (Al-Baqarah [2]: 104).

Pola serupa juga bisa kita jumpai, tatkala Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu hendak melakukan shalat, janganlah berjalan dengan tergesa-gesa, namun datangilah dengan tenang dan kesabaran terhormat.” (Riwayat Bukhari).

Di luar itu, kita menjumpai bentuk lain, yakni larangan disertai dengan penegasan. “Janganlah kamu melakukan apa yang dilakukan oleh kaum Yahudi, lalu kamu menghalalkan apa yang diharamkan Allah dengan muslihat yang rendah.” (Riwayat Bukhari & Muslim).

Atau sebagai diriwayatkan dari Abu Dzar RA sebagaimana termaktub dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali kamu menyepelekan kebaikan apa pun. Dan jika kamu tidak punya, temuilah saudaramu itu dengan wajah yang ceria.” (Riwayat Muslim).

Nah, lalu bagaimana cara kita melarang anak selama ini? Katakan jangan kepada anak, tetapi sertailah penjelasan. Berilah mereka pembanding dan penguat atau alternatif tindakan yang bisa mereka ambil.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Hati-hati dalam Memberi Batasan

Sebagian orangtua bermaksud menegaskan larangan, tetapi yang ia lakukan sebenarnya adalah memberi batasan dan melonggarkan. Misalnya, ketika anaknya yang kelas 5 SD berbicara tentang pacaran, orangtua menukas dengan kalimat, “Tidak boleh bicara pacaran. Kamu masih kecil.” Kalimat yang menyertai larangan seperti memperkuat larangan, tetapi sebenarnya memberi batas waktu, yakni larangan itu hilang jika mereka sudah besar. Masalahnya, tanpa penjelasan yang cukup, anak memahaminya bukan saja sebagai batas waktu bicara tentang pacaran. Lebih dari itu juga mencakup kebolehan pacaran jika waktunya telah tiba.

Karenanya, jika sebuah larangan memang tidak boleh secara mutlak diterjang kapan pun waktunya, maka janganlah memberi batasan. Sampaikan saja larangan dan sertai dengan penjelasan atau alternatif tindakan.

Wallahu a’lam bishawab.


Sumber: Laman Facebook Ust. Mohammad Fauzil Adhim

Recommended Posts × +

0 comments:

Post a Comment