Jika dua bilah kayu disatukan dengan paku, dua batu bata disatukan dengan semen, lalu dua hati di satukan dengan apa? Jawabnya, tak lain adalah dengan iman.
Dua hati yang beriman akan mudah disatukan. Jika dua hati mengingat yang Satu (Allah SWT), pasti mudah keduanya bersatu. Begitulah dua hati suami dan isteri, akan mudah bersatu bila iman di dalam diri masing-masing senantiasa disuburkan.
Bukan tidak pernah tergores. Bukan tidak pernah bercela. Tetapi jika di hati sama-sama masih ada Allah 'azza wa jalla, perdamaian akan mudah menjelma semula. Yang bersalah mudah meminta maaf, dan yang benar mudah memberi maaf. Tidak ada dendam berkepanjangan. Sebab masam cuma sebentar dan pahit hanya sedikit. Itulah yang ditunjukkan oleh teladan rumah tangga Rasulullah SAW.
Rasulullah juga pernah berselisih dengan istri-istrinya, tetapi sekadarnya saja. Ibarat ada gelombang, tetapi cepat-cepat kembali menjadi tenang.
Jika ditanyakan kepada dua hati yang saling mencintai: siapakah yang lebih cinta pasangannya? Maka jawabnya: siapa yang lebih cinta pada Allah, dialah yang lebih mencintai pasangannya. Sebelum berpikir bagaimana mengekalkan cinta dengan pasangan, berusahalah terlebih dahulu agar cinta kepada-Nya menjadi yang utama. Jika setiap pasangan sama-sama mencintai yang Maha Kekal, maka cinta mereka akan berkekalan juga.
Ego adalah virus perusak
Jika paku bisa berkarat, semen bisa retak, maka begitu pula dengan iman. Ada masa dimana iman dalam keadaan naik dan ada kalanya iman itu menurun. Iman pun ada “virusnya”. Virus iman ialah ego (takabur). Saat ada takabur, maka cinta pasti hancur. Orang takabur merasa dirinya lebih mulia dan pasangannya lebih hina. Jika demikian, bagaimana mungkin akan ada cinta? Cinta itu ibarat dua tangan yang saling bersentuhan. Tidak ada tangan yang lebih bersih. Dengan bersentuhan, keduanya saling membersihkan.
“Kau istri, aku suami”, “Aku pemimpin, kau pengikutnya”, “Aku putuskan, kau ikut saja”, “Jangan coba-coba menentang!”, begitulah ego dan rasa takabur itu. Akibat takabur, istri tak berkutik, tak boleh bersuara. Sedikit bicara saja ia sudah dibentak. Tegur suami, dijawabnya acuh tak acuh. Senyum yang semula bak mawar akhirnya menjadi tawar dan hambar. Senyap-senyap, istri menyimpan rasa dendam. Perlahan-lahan, jarak hati semakin jauh dan cinta semakin rapuh.
Ada pula istri yang tak kalah ego. Tidak jarang meninggikan suara. Kesalahan suami yang sedikit saja bisa menjadi urusan panjang. Anak-anak ditelantarkan dan dapur dibiarkan berserakan. “Rasakan akibatnya jika berani menentang aku,” bisiknya dalam hati.
“Mengaku salah tidak sekali. Minta maaf, pantang sekali,” begitu istilah Malaysia bagi orang yang enggan mengaku salah dan tidak mau meminta maaf.
Karena ego, pasangan suami-istri sering silap di luar batas. Suara yang meninggi, pintu yang dihempas kasar, atau bertengkar hebat di hadapan anak-anak, saudara, atau bahkan di hadapan tamu yang datang. Segalanya menjadi tak terkendali.
Alhasil, cuaca rumah tangga pun menjadi muram. Rumah tak lagi nyaman. Tidak ada keceriaan, dan kebahagiaan lagi. Semuanya bungkam. Tidak adalagi rumah tangga yang dibina dengan kasih sayang, cinta dan sikap saling menghormati.Yang ada hanya bangunan yang didirikan dari batu, kayu dan semen. Dingin, tanpa ruh, bahkan mencekam.
Tidak ada rindu menanti suami ketika pulang dari bekerja. Tidak ada kasih yang hendak dicurahkan oleh suami kepada isteri yang menanti di rumah. Anak-anak tak lagi memiliki kegairahan hidup.
Ego adalah penghalang cinta
Bila ada ego di hati, cinta akan menjauh pergi. Retak akan menjadi belah. Terkadang hati keduanya merintih, mengapa jadi begini? Bukankah antara aku dan dia ada cinta? Mengapa kini semakin berjarak? “Oh, mari ulangi musim bulan madu yang lalu. Kita susuri pulau, tasik, laut atau tempat pertemuan kita dulu.”
Ah, tapi malang, hanya sesaat. Senda gurau dan tawa hanya seketika. Tak mampu lagi memutar jarum kenangan lama, karena hati yang telah berbeda, tak lagi seperti dulu. Tidak ada lagi tarikan fisik yang ketara. Cumbu berbaur gairah seakan telah terlupa. Cinta itu belum kembali. Karena hati tidak diperbaharui.
Selagi ada ego, cara apapun takkan berarti. Jika masih ada ego, wangi pun tercium busuk, manis jadi tawar, yang indah jadi hambar.
Ada juga pasangan yang hendak "membeli" cinta. Ingin membangkitkan kembali rasa cinta dengan harta benda. “Ini kalung emas dan berlian sebagai tanda cintaku padamu,” kata suami. “Dan ini jam tangan mewah untuk memperbaharui kemesraan kita,” balas sang istri. Masing-masing bertukar hadiah berharap barang-barang berharga itu akan mengembalikan cinta.
Namun sayang sekali, sinar emas, cahaya berlian, tidak juga membawa serta datangnya cinta. Cinta tak hadir dengan kilau gemerlap harta. Cinta hanya akan menghampiri nur (cahaya) yang ada di lubuk hati. Nur itu tidak akan ada selagi ego masih ada di jiwa.
Perbaharui imanmu, ingatlah Allah senantiasa
Susurilah cinta yang hilang di jalan iman. Buanglah kerikil ego yang menghalangi. Sebab ego hanya membina tembok pemisah di antara dua hati meski fisik berada di bawah atap yang sama. Di depan khalayak ramai, mungkin masih bisa tersenyum dan mampu "berakting" sebagai pasangan yang ideal, tetapi hati masing-masing tahu sama tahu, bahwa sebenarnya kemesraan sudah tiada lagi.
Pasangan seperti itu, bisa menipu orang lain. Namun, mampukah mereka menipu diri sendiri? Yang retak akhirnya terbelah. Penceraian pun berlaku. Mereka berpisah. Masyarakat yang melihat dari jauh, terheran-heran. Mengapa pasangan yang biasanya tampak begitu mesra tiba-tiba berpisah? Oh, ternyata yang mereka lihat selama ini hanyalah sinetron.
Maka, carilah keberadaan Allah di dalam rumah tanggamu. Apakah Allah masih dibesarkan dalam solat yang kau dirikan bersama keluargamu? Atau justru rumahmu telah lama menjadi pusara akibat sepi dari dzikir dan bacaan Al-Quran? Apakah sudah luput majelis ilmu yang menjadi tonggak dalam rumah tanggamu? Di mana pesan-pesan iman dan wasiat taqwa yang menjadi penawar ujian kebosanan, kejemuan dan keletihan itu?
Penyakit ego akan senantiasa menimpa jika hati sudah tak dekat lagi dengan Allah. Hati yang penuh ego itu haruslah segera dibasuh kembali dengan tauhid, dan dibersihkan dengan amalan-amalan ruhiyah: taubat nasuha, shalat, membaca Al-Quran, dzikir, sedekah, dsb. dan yang paling penting adalah mengikuti majelis ilmu (pengajian).
Allah berfirman:
“Dan berilah peringatan. Sesungguhnya peringatan itu memberi manfaat kepada orang mukmin.” (Adz-Dzariyat ayat 55)
Jika orang mukmin saja perlu diperingatkan, apa lagi kita yang belum mukmin? Iman itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Syafi'i, bisa bertmbah dan berkurang. Untuk memastikan ia senantiasa bertahan atau bertambah, hati perlu bermujahadah. Lawan hawa nafsu yang mengajak kepada ketakaburan dengan mengingat bahwa Allah sangat membenci orang-orang yang takabur, walaupun sasaran takabur itu adalah suami atau isteri sendiri.
“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang takabur.” (QS. An-Nahl: 23)
Bila merasa bersalah, jangan malu mengaku salah. Segeranya mengakuinya dan ucapkanlah permintaan maaf. Ular yang menyusur akar tidak akan hilang bisanya. Begitulah suami yang meminta maaf kepada isterinya, dia tidak akan hilang kewibawaannya bahkan akan bertambah tinggi. Bukankah orang yang merendahkan diri akan ditinggikan Allah derajat dan martabatnya?
Lunturkan ego diri dengan membiasakan diri meminta maaf, meskipun mungkin kita adalah pihak yang benar, lebih-lebih lagi apabila jika kita yang bersalah. Ketika seseorang sukar mengaku salah dan senantiasa tidak ingin mengalah. Saat itulah dia telah memiliki salah satu dari tiga ciri takabur, yakni menolak adanya kebenaran.
Akuilah kebenaran jika memang kebenaran itu berada di pihak istri. Tunduk kepada kebenaran artinya tunduk kepada Allah. Jangan bimbang hanya karena takut dikatakan “laki-laki takut istri”. Kita hanya takut pada Allah. Sebab Allah sangat membenci orang yang takabur.
Begitu juga isteri, jika sudah terbukti bersalah, akuilah. Dalam hubungan suami istri, apakah penting siapa yang menang, atau siapa yang kalah?
Suami dan istri adalah tim. Berada di dalam mahligai rumah tangga bukan di ruang mahkamah. Kesalahan suami adalah kesalahan istri juga, dan begitu pula sebaliknya. Perkawinan adalah kerjasama, bukan persaingan. Andai salah satu “menang” pun, lantas apa gunanya?
Berusahalah sekuat-kuatnya menentang ego ini. Bisikan selalu di hati, bahwa Allah selalu mencintai orang yang merendahkan hatinya, dan Allah sangat membenci orang yang tinggi hati. Pandanglah pasangan kita sebagai sahabat yang paling rapat. Kita dan dia hakikatnya satu. Ya, hati kita masih dua, tetapi dengan iman ia menjadi satu. Bukan satu dalam bilangan, tetapi satu dalam rasa.
Sekali lagi, ingatlah lekat-lekat: hanya dengan iman, takabur akan luntur, dan cinta akan subur!
(Pahrol Mohamad Juoi/Hidcom/muslimfamilia.com)
0 comments:
Post a Comment