"Kemresek" itu bahasa Jawa. Maknanya kurang lebih: berisik. Walaupun nggak persis begitu. Radio mengeluarkan bunyi "kemresek" setahu saya kalau sinyal atau tuning-nya tidak pas, atau tanda bahwa siaran radionya sudah habis. Khas sekali suaranya.
Mendengarkan radio "kemresek" itu bisa sangat menjengkelkan, tapi bisa juga menyenangkan. Ada sensasi khas yang tidak bisa digantikan hiburan lain selain radio. Bahkan tidur ditemani radio "kemresek" bagi sebagian orang -apalagi mbah-mbah di desa- sudah menjadi rutinitas wajib tiap malamnya.
Percaya tidak percaya, Radio "Kemresek" adalah sebutan kesayangan saya untuk istri saya selain panggilan Cinta. Ya, Radio "Kemresek".
Kok kejem bener? Nyebut istrinya begitu? Barangkali begitu sebagian orang menilai.
Awal-awal memang istri saya jengkel dan nggak terima disebut begitu. Tapi sekarang istri sudah terbiasa dan justru senyum geli penuh cinta kalau saya sebut begitu. Dan saya punya alasan untuk itu.
Istri saya bisa dibilang memang cerewet. Paling tidak kalau ke saya begitu. Itulah salah satu alasan julukan radio "kemresek" saya alamatkan padanya.
"Sayang, di mana?"
"Sayang, baru ngapain?"
"Jangan lupa sholat Dhuha, ya..."
"Jangan lupa nanti bayar listrik dan air."
"Jangan lupa bla... bla... bla..."
Begitulah kira-kira gambaran "kemresek"-nya istri saya.
Menjelang tidur juga tak kalah "kemresek". Istri saya senang sekali mengajak ngobrol tentang mimpi-mimpinya, cita-citanya, dan harapan-harapannya. Atau terkadang sekedar menceritakan kesibukan kerja hari itu. Tak jarang cerita hanya berjalan satu arah. Persis seperti radio. Kadang saya cuma bisa mendengarkan sambil ngantuk-ngantuk dan mengaminkan saja, atau sekedar menyimak tanpa banyak menanggapi.
Semula, rasanya menjengkelkan juga sih setiap hari harus mendengar "kemresek"-nya istri. Tapi persepsi dan cara pandang saya tentang radio "kemresek" ini berubah dan baru menyadari sisi positifnya setelah saya sempat ngambek-ngambekan dengan istri. Perang dingin! Hehe.
Pada episode saling mendiamkan itulah saya menyadari ada sesuatu yang hilang dari hidup saya.
Manusia dianugerahi kecenderungan untuk berpasang-pasangan. Sudah menjadi fitrahnya juga untuk selalu ingin berdekatan dengan kekasih hati. Jiwa akan terus merasa "haus" dan "hampa" jika berjauhan dengan sang belahan jiwa.
Ketika saya sedang "ngambek-ngambekan" dengan istri, secara tidak langsung saya telah menciptakan jarak dengannya, baik secara fisik maupun hati. Dan itu menyalahi fitrah. Efeknya, saya merasa hampa. Meskipun berada ditengah keramaian hiruk pikuk di tempat kerja, atau bercanda tawa dengan kawan dan sahabat, tetap saja batin ini terasa sepi.
Sepi karena tak ada lagi suara radio "kemresek" itu. Tak ada yang menanyakan, "Lagi ngapain?" Nggak ada yang mengingatkan Sholat Dhuha, bayar listrik, bla bla bla... Sepi.
Di saat itulah saya kangen dengan radio "kemresek" saya.
Alhamdulillah, sampai saat ini, -seingat saya-, tidak pernah kami berdua ngambek-ngambekan lebih dari 3 hari. Kalau bukan saya, pastilah istri yang mengawali mencairkan kebekuan, mengakhiri perang dingin diantara kami. Dan hidup saya pun tak lagi sepi.
Walaupun "kemresek", tapi itu radio kesayangan. Tak akan pernah saya berikan kepada orang lain. Akan saya simpan terus dan dengarkan selalu. Agar hidup ini tak pernah sepi.
Istriku, Cintaku, tetaplah jadi radio "kemresek"-ku, ya.
Tidak akan terganti, dan tiada duanya... [Hio Himada/muslimfamilia.com]
0 comments:
Post a Comment