Menggapai kebahagiaan dunia-akhirat melalui pernikahan adalah dambaan setiap orang. Untuk menggapai kebahagiaan tersebut, maka ikatan pernikahan itu harus kuat. Dengan begitu, maka sebesar apapun badai yang menerjang pernikahan takkan mampu melepaskan ikatan cinta suci tersebut.
Terdapat beberapa simpul penguat ikatan tali pernikahan, diantaranya adalah:
1. Cinta
Ibn Qayyim al Jauziah dalam kitabnya "Raudhat al Muhibbin wa Nuzhat al Muzytaqìn" (Taman Para Pencinta dan Tetirah Para Kekasih) menjelaskan bahwa cinta adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan ini boleh jadi disebabkan lezatnya yang dicintai, atau karena manfaat yang diperoleh darinya.
Cinta sejati antar manusia terjalin bila ada sifat-sifat pada yang dicintai, yang terasa oleh yang mencintai sesuai dengan sifat yang didambakannya. Rasa inilah yang menjalin pertemuan antara kedua pihak, dalam saat yang sama dicintai dan mencintai. Semakin banyak dan kuat sifat-sifat yang dimaksud dan semakin terasa oleh masing-masing pihak, semakin kuat dan dalam pula jalinan cinta mereka.
Terjalinnya cinta tidak cukup dengan menghadirkan sifat yang disenangi kekasih pada diri seseorang, tetapi keberadaannya itu harus disadari dan dirasakannya. Boleh jadi seseorang sangat cantik atau gagah. Boleh jadi juga sangat baik dan jujur. Tetapi, bila itu tidak disadari dan dirasakan, maka keistimewaan ini tidak mengundang cinta. Karena itu jadikanlah pasanganmu merasakan sifat dan sikap yang kita tahu dapat menyenangkannya.
Salah satu cara menyuburkan cinta adalah memperdengarkan kalimat indah ke telinga kekasih. Agama menganjurkan yang demikian, sampai-sampai Rasulullah saw. berpesan bahwa tidaklah berdosa seseorang yang berbohong kepada pasangannya dengan tujuan untuk menyenangkan hati pasangannya tersebut. Beliau bersabda,
"Kebohongan semuanya merupakan dosa atas manusia kecuali dalam tiga hal; Seseorang yang berbohong pada pasangannya untuk menyenangkannya, kebohongan dalam peperangan (karena peperangan adalah tipu daya) dan kebohongan antara dua orang muslim untuk melakukan "ishlah" antar mereka." (HR. Tirmidzi)
2. Mawaddah
Makna mawaddah berkisar pada "kelapangan dan kekosongan", yaitu kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.
Mawaddah adalah "cinta plus", karena yang di dalam hatinya bersemi mawaddah, dia tidak lagi akan memutuskan hubungan. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya).
Seorang pakar Al Qur'an bernama Ibrahim al Biqa'iy (1480 M), ketika menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah (QS. Ar-Ruum: 21), mawaddah adalah cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan; serupa dengan tampaknya kepatuhan akibat rasa kagum dan hormat kepada seseorang.
3. Rahmah
Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk membantu atau melakukan pemberdayaan. Karena itu; dalam kehidupan keluarga; masing-masing, suami dan istri, akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah-payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menghindarkan dari segala yang buruk.
Rahmah menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu buta, pemiliknya tidak angkuh, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak juga pemarah, apalagi pendedam. Ia menutupi segala sesuatu dan sabar menanggung segalanya.
Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi. Allah berfirman,
"Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yng satu dan menciptakan darinya (dari itu) pasangannya." (QS. An-Nisa': 1)
Boleh jadi tidak terlalu keliru bila kita pahami itu secara metafor. Yakni masing-masing kita memiliki kekurangan, yang tidak dapat tertutupi kecuali dengan pernikahan. Firman tersebut mengandung isyarat bahwa suami dan istri harus dapat menjadi "diri" pasangannya, dalam arti masing-masing harus merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan pasangannya dan masing-masing harus mampu memenuhi kebutuhan pasangannya.
Dalam ayat lain, Allah berfirman,
"Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu dan kamu adalah pakaian untuk mereka." (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat diatas tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami-istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan kita pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami-istri; yang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan; harus dapat berfungsi "menutup kekurangan pasangannya", sebagaimana halnya pakaian menutup aurat (kekurangan manusia).
Ketahuilah bahwa kasih disuburkan dengan kesadaran bahwa tak seorangpun yang sempurna. Kekurangan yang dimiliki istri boleh jadi dimiliki juga oleh suami dalam bentuk yang lain. Kesalahan yang dilakukan oleh suami dapat juga dilakukan oleh istri dalam bentuk yang sama atau bahkan lebih parah. Kesadaran demikianlah yang dapat memelihara dan menyuburkan cinta kasih suami-isteri.
4. Amanah
Amanah berasal dari akar kata yang sama dengan kata aman (dalam bahasa Arab), yang bermakna tenteram. Juga sama dengan kata iman yang berarti percaya. Ketiganya berbeda, namun dalam saat yang sama masing-masing saling melengkapi dan menyempurnakan.
Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena percaya bahwa apa yang diamanatkan akan dipelihara dengan baik dan aman di tangan sang penerima amanat.
Istri dalah amanah bagi suami, dan suami pun amanah bagi isteri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui pernikahan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami; demikian juga istri; tidak akan menjalin hubungan kecuali jika masing-masing merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Pernikahan bukan hanya amanat dari mereka, namun juga amanat dari Allah SWT. Bukankah ia dijalin atas nama Allah dan dengan menggunakan kalimat-Nya?
Ada seorang pria datang kepada Umar ra. dan menyampaikan rencananya untuk menceraikan istrinya. Umar bin Khaththab ra. lalu berkomentar,
"Menceraikan? Menceraikan? Kalau demikian dimana engkau letakkan amanat yang telah engkau terima?"
Ini beliau ucapkan sambil membaca firman Allah:
"Seandainya kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah/jangan ceraikan). Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS. An-Nisa': 19)
Amanah dipelihara dengan mengingat Allah; Kebesaran, Kekuasaan dan Kemurahan-Nya. Ia dipelihara dengan melaksanakan tuntunan agama. Rasulullah Muhammad saw. bersabda,
"Tidak beriman yang tidak memelihara amanahnya dan tidak beragama yang tidak menepati janjinya." (HR. Ahmad)
"Apabila amanah disia-siakan, maka nantikan masa kebinasaannya." (HR. Bukhari)
[elhakeem/muslimfamilia.com]
0 comments:
Post a Comment