Pentingya Cinta Dalam Rumah Tangga
Rumah tangga laksana istana bagi sepasang kekasih. Istana yang akan melindungi mereka dari serangan problematika, istana yang akan menaungi mereka dari panasnya sengatan matahari cobaan, dan istana yang akan memberikan kehangatan saat dinginnya udara rintangan menghempasnya.
Sungguh besar peranan rumah tangga dalam melindungi sepasang kekasih dan gangguan-gangguan eksternal. Akan tetapi, peranan rumah tangga akan semakin maksimal ketika kedua kekasih memiliki ikatan kokoh yang berpondasikan cinta. Karena hakikat ikatan suami istri adalah kerjasama, saling mengasihi, dan saling mencinta. Ketika cinta pudar, maka ikatan mereka pun renggang dan tidak mampu menghadapi cobaan-cobaan yang menghadang.
Bahkan, ikatan suami istri yang tidak berpondasikan cinta akan menumbuhkan hubungan yang tidak dinamis dan melahirkan berbagai persoalan dari dalam rumah tangga mereka. Akhirnya, pertahanan mereka sudah lemah sebelum menghadapi serangan eksternal. Yang akhirnya, jurang perceraian pun tak bisa mereka hindari.
Ibnul Qayyim berkata dalam menjelaskan urgennya cinta suami istri dalam rumah tangga, “Ketika cinta suami istri semakin kuat dan sempurna, maka tujuan dari menjalin ikatan pernikahan semakin sempurna pula.” Tujuan menikah adalah menjaga kesucian dan meraih sakinah.
Cinta dalam rumah tangga ibarat poros kehidupan dan makanan utamanya. Ketika rumah tangga kehilangan cinta, maka suami istri akan merasakan kehidupan yang gersang dari kasih sayang, kelembutan, ketenangan, dan ketentraman. Bahkan, dipenuhi dengan kekakuan dan mereka seperti minyak dan air yang berusaha diletakkan dalam satu bejana.
Perselisihan antara suami istri pasti terjadi. Dan perselisihan antara mereka berdua itu ibarat sepercik api dan akan terus membesar hingga membakar seisi rumah, jika tidak lekas dipadamkan dan cintalah yang akan memadamkannya.
Setelah mengetahui pentingnya cinta dalam rumah tangga, apa sebenarnya cinta dalam rumah tangga itu?
Hakikat Cinta dalam Rumah Tangga
Cinta adalah cinta. Itulah definisi yang pas yang kita berikan kepada “cinta”. Tidak ada ungkapan lain yang bisa menjelaskan hakikat cinta kecuali kata “cinta” itu sendiri.
Adapun hakikat cinta dalam keluarga adalah kecenderungan hati kepada kekasih karena adanya kecocokan setelah melihat keindahannya atau kesempurnaan sifat-sifatnya, adanya kecocokan batin dengan kekasih, dan ketika sang kekasih berbuat baik kepadanya, kemudian kecenderungan tersebut melahirkan sesuatu yang luar biasa seperti penyerahan diri kepada kekasih, selalu mengingatnya, menunaikan hak-haknya, selalu mengharapkan pertemuan dengannya, hatinya dipenuhi dengan bayang-bayangnya, dan lain sebagainya, dan akan menuntun mereka menuju terminal akhir yaitu sakinah dalam firman Allah,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya (yaitu sakinah.pen), dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” ( Ar Rum :21)
Rumah Tangga Tak Berlandaskan Cinta?
Meskipun sepasang kekasih tinggal satu atap, satu rumah, dan satu keluarga, mereka berdua pasti memiliki titik-titik perbedaan, kekurangan-kekurangan, dan tabiat-tabiat yang tidak disukai oleh pasangannya. Terkadang, ada cara makan dan minum, berbicara, tidur, dan seabrek perilaku lainnya yang tidak disukai pasangan.
Oleh karena itu, terkadang ada suami atau istri yang tidak atau belum mencintai pasangannya. Mereka butuh waktu untuk menumbuhkan benih-benih cinta antara mereka berdua. Karena cinta adalah perkara hati yang seseorang tidak memiliki kekuasaan untuk seenaknya mengontrol hatinya. Rasulullah SAW berkata setelah berusaha adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, “Ya Allah, inilah kemampuan saya dalam bermuamalah dengan istri, janganlah Engkau mencelaku atas sesuatu yang Engkau miliki dan tidak aku miliki.” Turmudzi berkata dalam menafsirkan hadits ini, “Maksudnya adalah cinta dan kasih sayang.”
Cinta Bisa Ditumbuhkan
Jika rumah tangga anda belum dihiasai pohon-pohon cinta yang menebar kesejukan, maka jangan terburu-buru membuka pintu perceraian atau merasa pesimis dengan kebahagiaan keluarganya. Dia harus ingat, bahwa cinta itu terlahir ketika ada kecocokan setelah melihat keindahan kekasih dan keluhuran sifat-sifatnya, ada kecocokan batin, dan setelah mendapatkan kebaikan dari sang kekasih.
Untuk meraih 3 faktor tersebut, tentu membutuhkan waktu dan usaha-usaha yang harus ditempuh oleh suami istri. Di antara langkah-langkah yang harus ditempuh adalah:
1. Seorang suami atau istri harus bisa memahami perbedaan antara mereka berdua yang terkadang saling berbenturan seraya diiringi dengan penunaian hak dan kewajiban kedua belah pihak.
2. Seorang suami atau istri harus menjauhi dosa dan maksiat, karena dosa dan maksiat adalah sebab utama timbulnya kebencian dan matinya cinta. Salah seorang ulama salaf berkata, “Ketika aku berbuat maksiat kepada Allah l, aku mendapatkan pengaruh maksiat pada perubahan sifat istriku yang mulai membenciku”. Di antara dosa dan maksiat yang sering di lakukan adalah tidak menunaikan hak dan kewajiban suami istri.
3. Suami harus pandai merengkuh hati sang istri dengan berlemah lembut, membuka pintu maaf untuk kesalahan-kesalahan istri khususnya masalah duniawi, menjaga penampilan dan kebersihan, menyempatkan diri untuk duduk mesra, memahami emosional wanita yang terkadang labil, menampakkan cintanya dengan perkataan dan perbuatan, saling membantu untuk beribadah kepada Allah, bercanda dengannya, meluangkan waktu untuk membantu pekerjaan istri, dan tidak mencela atau menyakitinya. Teladan dalam hal ini adalah Rasulullah SAW. Coba kita perhatikan, bagaimana usaha Rasulullah SAW dalam menumbuhkan cinta dalam rumah tangga.
Rasulullah b memanggil Aisyah dengan namanya yang paling bagus, beliau berkata kepada Aisyah, “Wahai ‘Aisy!”, dan terkadang memanggilnya dengan “Humaira’.
Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Aisyah ia berkata, “Rasulullah SAW mencium salah satu istrinya sedangkan beliau b sedang puasa, kemudian Aisyah tersenyum”, maksudnya Rasulullah mencium dirinya.
Rasulullah mengungkapkan cintanya dengan lisan, Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, aku bagimu seperti Abu Zar’in kepada Ummu Za’in (yaitu dalam cinta).”
Rasulullah SAW bercanda mesra dengan istri-istrinya, Imam An Nasa’i meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah RA, beliau berkata, “Pada suatu hari, Saudah mengunjungi kami dan Rasulullah SAW duduk di antara kami berdua dan meletakkan kaki beliau di atas pangkuanku dan pangkuannya, aku pun membuat makanan dan aku memerintahkan Saudah untuk memakannya, akan tetapi dia enggan, lalu aku berkata kepadanya, “Makanlah, atau aku akan melumurkannya ke mukamu”, maka aku lumurkan makanan tersebut ke mukanya, kemudian Rasulullah mengangkat kakinya dari pangkuan Saudah agar dia membalas perlakuanku tadi, maka dia pun mengambil makanan dan melumurkannya ke mukaku, dan Rasulullah SAW tertawa.”
3. Sang istri pun harus berusaha merengkuh hati sang suami dengan menyambut kedatangan istri dengan kehangatan, berhias untuknya, bercanda dengannya, memuji dan mensyukuri kebaikannya, bersegera minta maaf kepadanya ketika berbuat salah, taat kepadanya, dan membantu meringankan pekerjaan suami. Di bawah ini beberapa wanita teladan dalam berusaha menumbuhkan benih-benih cinta dan menjaga kelestariannya.
Istri Abu Muslim Al Khaulani ketika suaminya datang, maka dia langsung menyambutnya, menanggalkan pakaiannya dan sandalnya, kemudian menghidangkan makanan kepadanya.
Coba perhatikan bagaimana Shafiyah dan ‘Aisyah bekerjasama untuk meraih kecintaan Rasulullah SAW. Suatu hari Rasulullah SAW marah kepada Shafiyah, lalu Shafiyah berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bersediakah kamu mengambil giliranku agar Rasulullah SAW meridhaiku?.
4. Berdoa kepada Allah agar ditumbuhkan benih-benih cinta di rumah tangganya atau meminta kepada orang-orang shalih untuk mendoakannya. Seorang wanita mendatangi Rasulullah SAW dan mengeluhkan suaminya, maka Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu membencinya?”, Wanita tersebut, “Ya”. Lalu Rasulullah berdoa untuk mereka berdua, “Ya Allah satukan hati mereka, tanamkan kecintaan di antara mereka berdua.” Akhirnya mereka berdua pun saling mencintai.
Setelah langkah-langkah di atas di tempuh, dan belum membuahkan hasil, maka jangan langsung menempuh jalan perceraian, akan tetapi masing-masing pihak berusaha memberikan kasih sayang kepada pasangannya, dengan harapan akan tumbuh benih-benih cinta antara mereka berdua.
Hal ini berdasarkan sebuah hadits, seorang lelaki mendatangi Umar bin Khattab ingin bermusyawarah mengenai keinginannya untuk menceraikan istrinya, maka Umar berkata kepadanya, “Jangan kamu ceraikan dia!” Lelaki tersebut menjawab, “Aku tidak mencintainya.” Umar berkata, “Apakah setiap pernikahan itu didasari cinta? Manakah kasih sayangmu? Jika kamu tidak mencintainya maka kasihanilah dia, kecuali jika kamu tidak menginginkannya dan tidak mencintainya dan dia meminta cerai, maka ini adalah perkara lain.”
Jika tidak tumbuh benih-benih cinta juga, bahkan tidak mungkin mempertahankan keutuhan rumah tangganya, maka tidak mengapa menempuh jalan perceraian, dengan syarat setelah menempuh tiga langkah dalam menyelesaikan problematika yaitu nasihat, pisah ranjang, dan pukulan yang mendidik.
Ingatlah, cinta dalam rumah tangga bisa berpahala jika dibangun di atas cinta karena Allah dan tidak mengalahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu A’lam.
Oleh: Ustadz Agus Abu Aufa
Sumber: majalahsakinah.com
0 comments:
Post a Comment