latest Post

Membantu Anak Memahami Makna Sakit

Anak sakit

Suatu ketika, putri kami demam sangat tinggi. Suhu badannya mencapai 40.1 derajat Celcius. Pilu hati saya melihatnya tergolek lemah di tempat tidur, layu, serta menyeracau tidak jelas saking tinggi demamnya.

“Sabar ya, Nak… Sabar ya, Nak…”, ucap saya berkali-kali di sampingnya. Adiknya tak kalah berempati pada sang Kakak, ia turut mengusap-usap kaki Kakaknya yang sedang tergolek lemah.

Teringat sebuah kalimat bijak, bahwa ketika anak sakit maka saat itu pulalah terbuka kesempatan kita untuk memberikan pengajaran (pendidikan). Saat itu pulalah saya manfaatkan untuk berbicara tentang makna sakit dan bagaimana seorang muslim menyikapinya.

“Sayang, sabar ya, Nak… Allah sedang uji Kakak dengan sakit. Sebelah mana badan yang dirasa sakit sekarang?" Tanya saya padanya, entah untuk yang kesekian kalinya.

Putri kami mulai menangis.

“Kepalaa…. Kepalaku pusing banget, Bundaa… Kaki aku juga pegel… Aku pusing banget… Panas banget ini bagaimana…?” ceracaunya sambil menangis.

Sejujurnya saya cukup panik juga mendengarnya, namun mencoba tetap bersikap tenang sambil menyuapkan obat penurun panas, sekedar membuatnya nyaman.

Yang saya pegang adalah, demam itu gejala. Pasti ada sebabnya entah karena virus atau infeksi bakteri. Yang bisa dilakukan adalah menjaga asupan nutrisi (makanan dan minuman) hariannya tetap cukup, lalu mengobservasi keadaannya selama tujuh puluh dua jam. Jika demam belum usai hingga tenggat waktu tersebut, atau kondisi anak makin parah meski belum terlihat pasti sakit apanya, ikhtiar selanjutnya adalah membawanya ke dokter langganan. Ya, langganan. Karena dengan begitu Dokter tersebut punya rekam jejak medis dari anak kita.

Setelah minum obat penurun panas, ia menangis lagi.

“Kenapa sih aku harus sabar? Sakit kan nggak enak, aku jadi pusing. Aku jadi nggak bisa main. Nggak boleh beli es krim,” kata si Kakak.

Saya senyum.

Di satu sisi, hati saya berbisik, "Alhamdulillaah, Allah berikan kesempatan berdiskusi dengan anak untuk mengenai memaknai sakit yang diberikan Allah kepada hamba-Nya."

“Iya, memang sakit pasti nggak enak rasanya. Pegel, pusing, nggak enak makan. Iya, kan?” ucap saya mencoba membantunya menamakan apa yang dirasakannya saat ini.

Putri kami mengangguk sambil mengusap air matanya.

“Eeh Kakak, ya memanglah kalau sakit itu nggak boleh beli es krim, nggak boleh main, bolehnya kalau udah sehat. Iyakan Bun?” adiknya yang masih berusia tiga tahun ikut menanggapi. Sontak si Kakak jadi sebel dibegitukan. Mulutnya jadi manyun, namun sudah tidak menangis lagi. Saya pegang dahinya, Alhamdulillaah demamnya perlahan turun. Dan Bismillaah, pelan-pelan saya mencoba menyampaikan soal makna sakit yang Allah berikan kepada hamba-Nya.

“Iya, betul. Boleh beli es krim dan main keluar lagi kalau sudah sehat ya, Nak. Sekarang, Kakak sabar dulu… Minum obat penurun panas kalau demamnya tinggi begini. Berjuang dulu banyak minum, makan, minum madu. Sedikit-sedikit ndak papa. Tahu nggak, ketika kita sakit, lalu kita ikhlas menerimanya meski sangat tidak enak rasanya, insya Allah, Allah akan menggugurkan dosa-dosa kita, lho,” kata saya pada anak-anak.

Mata si Kakak melebar, “Ah, masak sih Bun?”

“Iya”, jawab saya.

“Syafakillaah, laa ba’tsa thohuurun insyaAllah, adalah sebuah doa yang sebaiknya kita ucapkan ketika mendengar saudara kita ada yang sakit. Artinya, Semoga Allah menyehatkanmu kembali, insyaAllah sakitnya menjadi penggugur dosa”, lanjut saya.

“Jadi, kalau akunya sabar, dosa-dosa aku dihapus gitu, Bun?” tanya si Kakak. Sementara itu adiknya gantian melirik ke saya, melirik lagi ke kakaknya dengan wajah ingin tahu nan menggemaskan.

“Betul”, jawab saya pendek.

“Iya deh, aku coba sabar aja deh. Aku mau deh minum madu lagi, sama minum air putih lagi, sama makan lagi. Sedikit-sedikit tapi ya, Bun. Jangan langsung banyak. Perut aku juga masih nggak enak”, katanya.

***

Suatu ketika, dalam sebuah chat di grup whatsapp.

“Kesiapan mental pasien adalah modal utama pengobatan”, ucap seorang survivor kanker payudara yang kini Allah uji dengan kanker kelenjar getah bening.

Penerimaan diri (acceptance) terhadap sakit dan memaknainya sebagai bentuk kasih sayang Allah, yang kemudian berujung ikhlas, ternyata membantu pasien tersebut bertahan dan tetap menjalani aktivitasnya sehari-hari sebagai seorang pengajar. Yang beliau hadapi bukanlah ujian yang enteng. Kanker payudaranya telah dinyatakan selesai, namun ternyata muncul yang baru lagi: kanker getah bening. Putra-putrinya pun masih kecil. Tak terbayang bagaimana perasaannya. Namun ia masih tetap bersemangat menjalani aktivitas hariannya. Alhamdulillah, Allah berikan kekuatan iman hingga pasien tersebut dapat menjalani semuanya dengan ikhlas.

Konsep berpikir atau penghayatan seperti ini, meski termasuk "materi berat", insya Allah dapat kita perkenalkan kepada anak sejak dini, ketika mereka sedang mengalami sakit. Bahwa sakit yang Allah berikan bukan untuk dirutuki, melainkan untuk diterima dan diikhlaskan. InsyaAllah ujian tersebut bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Dan di tengah keadaan sakit yang dialami pun, kita masih tetap selayaknya memanjatkan syukur, karena masih ada orang lain yang mengalami kondisi jauh lebih berat dari apa yang kita alami. (Lidya Insan Swastika/muslimfamilia.com)
Recommended Posts × +

0 comments:

Post a Comment