Apa yang akan terjadi jika kita dapat, secara instan, mengakses segala sesuatu yang pernah kita lalui sepanjang kehidupan pernikahan kita? Teknologi digital telah memungkinkan hal ini. Maka pertanyaan yang layak dilontarkan adalah: Apa pentingnya?
Setiap tahun, di hari ulang tahun pernikahan kami, kami memiliki ritual merekam sebuah vlog atau video log. Pada setiap video, kami bercerita secara spontan (dan rebutan :D) mengenai segala hal yang kami lalui selama 1 tahun ke belakang. Kami juga menyebutkan target-target apa saja yang hendak kami raih dalam 1 tahun ke depan. Ini adalah cara kami untuk berhenti sejenak, memaknai perjalanan, menghela nafas panjang, kemudian berlari lebih kencang.
Sederhana memang. Apalagi pernikahan kami baru seumur jagung, belum genap 5 tahun. Tapi bayangkan saja, ketika kelak sudah terkumpul 10 atau 20 video (insya Allah), lalu kami menyaksikannya bersama anak-anak kami, menapaki jejak langkah yang telah diarungi dalam tahun-tahun berlalu tentu akan sangat luar biasa! Kami layaknya sedang menyusuri sebuah lorong waktu, yang padanya terekam gurat-gurat kedewasaan yang semakin nyata pada wajah-wajah kami.
Hal ini memang menarik untuk kita cermati. Seiring perkembangan teknologi, ada begitu banyak aspek dari kehidupan kita yang terekam dalam bentuk data. Entah itu dalam foto dan video yang kita ambil dengan smartphone kita, percakapan panjang yang terjalin dalam aplikasi instant messaging, hingga status dan kicauan kita di media sosial.
Yang terekam tanpa kita sadari pun, boleh jadi tak kalah banyak. Sebut saja aktivitas rekening kita yang selalu tercatat oleh bank, data medis di rumah sakit tempat kita berobat, kebiasaan berbelanja kita di supermarket langganan, riwayat pencarian yang tersimpan dalam browser, hingga pemantauan GPS dari perangkat bergerak yang kita miliki.
Akses seketika dan mudah terhadap informasi, ujar Bill Gates, merupakan salah satu manfaat terpenting yang dapat dijanjikan oleh zaman digital. Berbekal internet, perangkat komputer, serta peranti lunak untuk mencari dan mengolah data, seseorang dapat memiliki akses informasi yang nyaris tanpa batas mengenai segala topik. Ini jelas jauh lebih mudah dari berjalan menyusuri rak-rak perpustakaan yang berdebu, berjuang untuk menemukan buku, jurnal, atau surat kabar edisi tertentu.
Betapapun mengesankannya “teknologi perekam” ini, ada hal penting yang biasanya tidak terabadikan —pengalaman pribadi dan pemaknaan atasnya. Maklum, jangankan menggunakan blog untuk mempublikasikan uneg-unegnya ke khalayak umum, menulis di buku diary pun tidak semua orang mau melakukannya. Mereka yang kerap menulis status dan berkicau di media sosial mengenai kesehariannya pun, tak jarang sudah dipoles sana sini demi pencitraan atau mendulang simpati. Kalau sudah begitu, di mana letak pemaknaannya?
Pertemuan memori digital & biologis
Dengan sedikitnya pengalaman pribadi yang kita abadikan secara fisik atau dalam bentuk elektronik, otomatis hanya sekian persen darinya yang tersimpan di otak kita. Dalam hubungan pernikahan, tugas ini dibagi bersama otak milik pasangan hidup kita. Apa yang kita lupa, boleh jadi suami atau istri masih mengingatnya. Namun, dengan terbatasnya kemampuan memori manusia, yang sebenarnya terjadi adalah kita melupakan banyak sekali pengalaman-pengalaman penting dari kehidupan kita.
Bersama hilangnya memori atas pengalaman itu, hilang pula memori atas pemaknaan atau hikmah yang terkandung di dalamnya. Jika hikmah dapat dipandang sebagai aset berharga untuk mengarungi kehidupan, maka tanpa kesadaran untuk mengarsipkannya, kita telah secara aktif membuang-buang aset yang kita peroleh dengan susah payah.
Mungkin Anda menanggapi, jika suatu hal dapat dengan mudahnya kita lupakan, apa mungkin karena hal itu memang tidak penting-penting amat? Masalahnya, seringkali kita belum tahu seberapa penting pengalaman kita terhadap suatu hal, sampai suatu ketika kita terjebak pada persoalan sama yang pernah menghampiri kita di masa lalu. Atau lebih parahnya lagi, lupa itu sendiri yang menyebabkan kita terperosok kembali ke dalam masalah tersebut!
Memori biologis tersimpan dalam otak manusia sebagai pola koneksi antara neuron atau sel saraf. Sementara komputer menyimpan memori elektronik dalam serangkaian saklar. Otak maupun komputer memiliki kemampuan untuk mengolah informasi yang tersimpan, kemudian menggunakannya untuk menentukan tindakan. Sekilas, kedua sistem memori ini tampak sama. Namun sesungguhnya, terdapat perbedaan yang cukup jauh antara memori biologis dan digital.
Menurut para pakar, otak manusia terdiri atas tiga sistem penyerapan informasi:
1. Memori prosedural, yang kadang dikenal sebagai memori otot, yaitu memori untuk keterampilan fisik seperti mengetik, berenang, mengendarai mobil, bermain alat musik, dan sebagainya. Kekuatan memori ini sangat bergantung pada seberapa sering ia dilatih secara terus menerus.
2. Memori semantik, adalah memori yang berkaitan dengan informasi faktual yang tidak berakar pada pengalaman tertentu. Misalnya, “Bumi itu bulat” atau “Gajah memiliki empat kaki”. Semakin berkesan gambaran yang muncul dari sebuah informasi, akan semakin mudah tertanam di dalam ingatan.
3. Memori episodik, yaitu memori yang menguraikan pengalaman masa lalu dan berkaitan erat dengan perasaan pribadi kita pada situasi tersebut. Inilah yang memungkinkan Anda mengingat kembali hal-hal yang telah terjadi dalam kehidupan, seperti kenangan pada saat hari pernikahan Anda, ketika anak pertama Anda lahir, atau saat Anda kehilangan seseorang yang dicintai.
Tidak seperti komputer, otak tidak terlalu hebat dalam mengingat begitu banyak detail peristiwa secara tepat. Hal terbaik yang dapat disimpan otak adalah pola, makna, dan potongan-potongan kejadian. Upaya Anda mengingat peristiwa dari masa lalu bukanlah seperti memutar kembali video rekaman aktivitas Anda dari hari ke hari, melainkan seperti menuturkan sebuah kisah yang didasarkan pada sejumlah fakta relevan.
Di sinilah teknologi digital memberikan Anda kesempatan untuk merekam segala sesuatunya secara lebih menyeluruh. Sejauh ini, memang belum ada teknologi digital yang dapat membantu kita dalam hal memori prosedural. Akan tetapi, memori semantik dan episodik dapat diperkuat berkali-kali lipat dengan dukungan berbagai teknologi perekam yang tersedia saat ini.
Video log yang saya ceritakan di awal, misalnya, adalah pelengkap dari banyak cara kami dalam mendokumentasikan dinamika perjalanan rumah tangga. Di samping itu, kami tetap mengambil foto dan video untuk momen berkesan sehari-hari, sesekali membaginya di media sosial, menggunakan aplikasi pencatat progres harian seperti Todoist dan Habitica, hingga menulis diary konvensional.
Video log berfungsi sebagai pengikat makna, yang memberi penekanan dan merangkum hikmah yang kami dapatkan dari tahun-tahun yang dijalani. Semua ini merupakan upaya kami dalam merakit sebuah “mesin waktu”, yang bisa kapan pun kami naiki sebagai sarana napak tilas atas perjalanan yang telah dilalui. Bagaimana, tertarik mencobanya juga? (Wicaksono Adi/muslimfamilia.com)
*Penulis adalah pecinta teknologi digital dan trainer daya ingat di Indonesia Memory Sports Council.
0 comments:
Post a Comment