Visi ini berbasis Al-Qur’an. Pasti. Sebab Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi setiap muslim. Memiliki keluarga sakinah adalah harapan semua orang, namun mengharapkannya terwujud tanpa adanya bimbingan wahyu, maka itu adalah hayalan bukan harapan. Mungkin bisa diwujudkan tapi hanya cukup hingga batas kematian. Setelahnya tidak ada lagi kenikmatan. Sedangkan dalam pandangan seorang muslim, keluarga seharusnya tidak hanya menjadi sumber bahagia di dunia, tapi juga kebahagiaan akhirat. Dengan demikian, Al-Qur’an mutlak dijadikan tuntunan dalam membangun visi keluarga.
Dalam Al-Qur’an, ada sebuah surat yang menjadi visi keluarga muslim. Surat yang tidak lebih dari 3 ayat, yaitu surat Al-‘Ashr. Al-‘Ashr artinya waktu. Ada apa dengan surat Al-Ashr? Imam Ast-Syafi’i rahimahullah berkata tentang surat ini,
قال الشافعي رحمه الله :" لوما أنزل الله حجة على خلقه إلا هذه السورة لكفتهم
“Kalaulah Allah tidak menurunkan hujjah kepada hamba-Nya kecuali surat ini maka itu pun sudah cukup.” (Utsuluts Tsalatsah)
Dahsyatnya Waktu
Dalam surat Al-‘Ashr, Allah SWT bersumpah dengan “waktu”. Menurut para ulama mufasir, jika Allah bersumpah dengan makhluknya, itu menunjukan bahwa ada keutamaan pada makhluk itu. Termasuk juga “waktu”. Dengannya, Allah menunjukan bahwa waktu begitu penting dalam kehidupan seorang manusia, terlebih lagi bagi seorang muslim.
Waktu adalah modal terbesar dan paling utama bagi kehidupan seseorang, sebagaimana Hasan Al-Bashri mengatakan, “Waktu adalah modal seorang mukmin. Kerugiaannya adalah neraka dan keuntungannya adalah syurga.”
Jika dianalogikan dalam dunia usaha, maka seorang pengusaha yang beruntung adalah pengusaha yang cerdas menggunakan modalnya, bukan seberapa banyak modal yang disediakan. Ada pengusaha yang memiliki modal awal Rp 200.000,- dan dalam waktu 2 bulan bisa berkembang mencapai Rp 2.000.000,-. Namun, ada pula pengusaha yang memiliki modal awal Rp 2.000.000,- tapi setelah 2 bulan hanya tersisa Rp 200.000,-.
Demikian pula hidup seseorang. Banyaknya waktu yang tersedia tidak menjadi jaminan menjadi manusia yang sukses, baik dunia maupun akhirat. Karena manusia yang sukses, dan mereka adalah orang yang beriman kepada Allah, adalah yang cerdas menggunakan waktunya untuk sesuatu yang menguntungkan, bukan justru merugikan hidupnya.
Semua manusia memiliki jatah waktu yang sama dalam satu hari, yakni sama-sama 24 jam. Sayangnya, cara menyikapinya berbeda-beda. Bisa jadi seseorang banyak waktu luang, tapi malah terlalaikan, seperti sabda nabi,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغ
“Dua nikmat yang sering manusia lupa terhadapnya; waktu luang dan kesehatan.” (Hadits Riwayat Bukhari no. 6412)
Waktu adalah modal berharga bagi kemaslahatan pribadi, ia juga menjadi modal yang sangat penting untuk mewujudkan keluarga yang sakinah. Dalam berkeluarga, waktu menjadi modal yang sangat penting. Membangun rumah tangga atau keluarga yang harmonis membutuhkan waktu yang cukup. Salah satunya adalah waktu untuk berkomunikasi.
Baik suami, istri, ataupun anggota keluarga lainnya harus punya waktu yang cukup untuk saling berkomunikasi. Tidak jarang, keharmonisan keluarga tergoncang, bahkan akhirnya hancur berantakan dikarenakan masing-masing anggita keluarga sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tiada kontak yang hangat satu sama lain.
Manusia Itu Hakikatnya Rugi
Hikmah selanjutnya dalam surat Al-Ashr ini adalah, bahwa pada dasarnya manusia hidup di dunia ini dalam keadaan merugi. Kerugian ini begitu ditekankan dalam surat Al-Ashr ayat ke-2. Hal ini ditunjukkan dengan adanya 2 huruf “taukid” (penguat) dalam ayat tersebut, yaitu “lam” dan “inna”.
Jika ditadaburi (direnungkan), dalam kalimat “fii khusrin” Allah menggunakan secara “nakirah” alias umum dan tidak tertentu. Berbeda maknanya jika “fil khusri” yang makrifah. Tambahan “alif lam” menunjukan pada makna tertentu. Artinya, kerugian manusia itu menimpa pada seluruh aspek kehidupannya, tidak ada yang terkecuali. Harta, tenaga, pikiran, profesi, dan semua yang didapatkan di dunia pasti rugi. Wallahu a’lam.
Tapi tidak berhenti sampai di situ. Di ayat terakhir, Allah berikan “istitsna” (pengecualian) agar manusia selamat dari kerugian. Ada empat hal yang bisa menyelamatkan dari kerugian. Barang siapa yang bisa mengamalkannya, maka dia adalah orang yang beruntung dengan keuntungan yang sangat besar. Demikianlah Syaikh Abdul Muhsin Al-Qasim menjelaskan dalam kitabnya “Taisirul Wushul ila Tsalatsail Ushul”.
Inilah Visi Keluarga Muslim
Apa saja keempat hal yang dimaksud? Muhammad At-Tamimi dalam kitabnya “Ustuluts Tsalatsah” menyebutkan empat hal tersebut adalah ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Ini adalah intisari dari ayat ke-3 di surat Al-Ashr. Dengan demikian, keluarga yang selamat dari kerugian adalah keluarga yang punya visi pada empat hal ini. Semua yang dimilikinya menjadi keuntungan. Bahkan keberkahan keluarga bisa didapat jika mampu mewujudkan keempat visi tersebut.
1. Ilmu
Ilmu menjadi visi yang paling utama. Mencintai ilmu, khususnya ilmu agama, adalah gerbang untuk menjadi keluarga yang sukses. Tak ada sakinah, dan tak ada berkah tanpa ilmu syari’ah (Islam). Banyak orang hidup berkeluarga untuk bahagia, tapi bahagia tak kunjung tiba, bahkan terkadang keluarga justru menjadi sumber masalah dalam hidupnya. Maka tak heran, para lajang yang melihatnya justru menjadi khawatir atau takut untuk berumahtangga.
Hal ini disebabkan karena menjalani hidup berkeluarga tanpa bekal ilmu. Benarlah apa yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz,
“Barangsiapa yang beramal tanpa didasari ilmu, maka ia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.” (Sirah wa Manaqibu Umar bin Abdul Aziz, oleh Ibnul Jauzi: 250).
Tidak heran jika Rasulullah saw menjadikan syurga itu begitu dekat dengan ilmu. Sabdanya,
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (Hadits Riwayat Muslim no. 7028)
Keluarga surga adalah keluarga yang menjadikan ilmu sebagai imamnya.
2. Amal
Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon tak berbuah. Ilmu yang tidak disertai amal, seperti buah-buahan yang hanya bisa dikagumi bentuk dan warnanya, tapi tak bisa dinikmati rasanya. Maka setiap ilmu harus senantiasa bisa menghasilkan amal. Bukan hanya berhenti di rak-rak buku, atau di atas meja, atau hanya cukup di majlis-majlis taklim, tapi bagaimana cahaya ilmu tersebut dapat menerangi rumah kita.
Misalnya, seseorang telah mengetahui tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangganya, jika ilmu itu tidak diamalkan, tentu ilmu tersebut tidak akan bisa menyelamatkannya dari kerugian, bahkan justru membuahkan celaan. Tak ubahnya dalam sebuah perjalanan, berbagai macam rambu lalu lintas sudah diketahui tapi tidak ditaati, maka kemungkinan besar bisa menuai kecelakaan.
3. Dakwah
Dakwah adalah kewajiban seorang muslim baik perempuan ataupun laki-laki. Lapangan dakwah tidak terbatas pada mimbar ceramah saja. Tapi hakikat dakwah adalah perubahan ke arah lebih baik di bawah naungan ridha Allah swt.
Melalaikan kewajiban ini membuat seseorang terjatuh pada fitnah syahwat dunia. Karena di jalan dakwah, seseorang dituntut untuk banyak berkorban baik dengan harta maupun tenaga. Dan semua ini dilakukan untuk mendapat pahala dari Allah.
Dakwah bisa dilakukan dalam medan yang kecil seperti di keluarga. Bahkan keberhasilan dakwah seseorang di keluarganya, menjadi pilar yang paling utama untuk keberhasilan dakwah di ranah lainnya. Ismail Razi Faruqi mengatakan, “Keluarga adalah pilar paling utama untuk tertegaknya khilafah.”
Dakwah di keluarga bisa diwujudkan dengan membinanya secara rutin dan sistematis dengan metode-metode yang variatif. Jadi, jika sebuah keluarga sudah tidak punya orientasi untuk terlibat dalam aktivitas dakwah, maka hanya akan menjadi keluarga yang rugi.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِين
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’" (QS. Fushilat [41]: 33)
4. Sabar
Ini modal utama untuk mendapatkan kemenangan dalam hidup. Kunci bagi segala sesuatu yang tertutup adalah sabar. Jangankan untuk mendapatkan kesuksesan di akhirat, untuk urusan dunia saja perlu kesabaran. Nabi Muhammad saw bersabda;
“Sabar adalah pelita (sinar terang).” (HR. Muslim, no.223).
Maka, jika hilang sabar, kita hilang pelita. Jika sudah tak ada pelita maka segalanya menjadi gelap. Kalau sudah gelap, maka semuanya menjadi kacau karena tidak ada kejelasan. Demikian pula dengan hidup. Hilangnya sabar hanya akan membuat berbagai potensi kebaikan menjadi tak berfaidah. Maka, kesabaran mutlak dibutuhkan kehadirannya untuk membina keluarga yang sakinah.
Wallahu a’lam.
(Hasan Faruqi S.Pd.I/muslimfamilia.com)
0 comments:
Post a Comment