Dalam suatu interaksi dua manusia yang berlatar belakang beda baik secara kultur, karakter dan gaya hidup, sudah dapat dipastikan tidak akan lepas dari suatu pergesekan nilai dan kebiasaan, sehingga menimbulkan suatu percekcokan. Hal ini sangat wajar dan manusiawi.
Ada pasangan yang mampu mengatasi masalah tersebut dengan baik, namun ada juga yang tidak mampu menyelesaikannya. Permasalahan yang sebenarnya kecil, akhirnya menumpuk dan menjadi bom waktu yang akan menghancurkan bahtera rumah tangga yang sedang dibangun.
Di bawah ini adalah faktor-faktor yang sering menjadi penyebab terjadinya percekcokan dalam rumah tangga:
1. Komunikasi yang kurang lancar
Komunikasi menjadi bagian yang sangat penting dalam hubungan perkawinan. Bagaimana mungkin masing-masing pasangan mengetahui keinginan dan harapan pasangannnya kalau tidak adanya komunikasi yang baik, sehingga keinginan dan harapan tersampaikan dan tidak salah persepsi? Maka dari itu usahakanlah untuk memiliki intensitas dan kualitas komunikasi yang baik dengan pasangan.
Suami yang baru saja pulang kerja dengan badan yang lelah dan perut yang lapar tidak mungkin seorang isteri menyampaikan keluhannya sepanjang siang itu, tapi harus menunggu waktu yang tepat dimana suami dalam keadaan yang santai dan tenang
2. Kurangnya pengetahuan/ilmu tentang pernikahan
Sebelum memasuki jenjang pernikahan, calon suami atau isteri sebaiknya menggali dan menyempurnakan ilmu tentang pernikahan. Dengan ilmu, kita akan paham seperti apa rumah tangga yang dicontohkan Rasulullah, dan bagaimana cara melajukan bahtera di tengah lautan kehidupan yang bergelombang.
3. Kurangnya pengendalian diri
Sebelum menikah mungkin segalanya tampak indah di depan mata. Satu, dua, tiga bulan pertama semuanya bak di syurga dunia, tapi ketika usia pernikahan memasuki bulan keempat mulailah masalah bermunculan. Disini kita harus mampu mengendalikan diri kita. Kemampuan kita dalam mengendalikan diri diuji oleh Allah. Sikap yang tepat dalam menghadapi dan mengatasi masalah adalah dengan senantiasa berlindung dan memohon pertolongan Allah untuk tetap tenang, diberi kemudahan untuk berpikir jernih dan bertindak tepat.
Banyaklah belajar dari pengalaman orang-orang yang sudah berpengalaman dalam berrumah tangga, khususnya keluarga-keluarga mukmin, bagaimanakah mereka mengatasi konflik rumaha tangga, bagaimanakah mereka mengendalikan diri ketika menghadapi masalah, dsb.
4. Tidak adanya kesadaran sebagai hamba
Seorang hamba Allah sepanjang hidupnya selalu mengabdi, segala aktifitasnya harus selalu bernilai ibadah di hadapan Allah. Dalam surat Adz Dzaariyaat ayat 55, Allah berfirman, ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi (beribadah) kepadaKu.”
Maka seorang hamba Allah akan meninggalkan semua sikap dan perilaku yang tidak bernilai ibadah. Semua yang dilakukannya harus untuk dan atas nama Allah, dengan bertitik tolak pada ”Sukakah Allah dengan apa yang akan kulakukan?”
***
Ada beberapa kiat yang dapat dilakukan untuk meminimalisir potensi konflik dalam hidup berumah tangga, yaitu:
1. Ta’aruf
”Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (Q.S. Al Hujurat: 13)
Ta’aruf artinya saling mengenali diri masing- masing. Tapi jangan disamakan dengan pacaran. Proses ta’aruf sebelum menikah hanya dibolehkan jika sesuai syariat yang telah Allah tetapkan, bukan liar dan tidak terkontrol. Ta’aruf yang dibenarkan memiliki rambu-rambu sebagai berikut:
- Bertujuan mengenali pasangan untuk menuju jenjang pernikahan (bukan untuk eksploitasi hawa nafsu).
- Tidak berduaan, harus ada muhrim dari pihak calon mempelai perempuan.
- Pembicaraan tidak mengarah pada hal-hal yang menimbulkan birahi.
- Saling menyesuaikan diri satu sama lain.
Dalam ta’aruf ini, hendaknya masing-masing calon pasangan saling bertanya mengenai:
- Apa yang menjadi tujuan dan hidup pasangannya?
- Apa saja yang disukai?
- Apa yang dibenci?
- Apa saja yang membuatnya kecewa?
- Apa saja yang membuatnya marah ?
- Apa cita-citanya?
- Apa tujuan menikah?
- Bagaimana cara mengatasi masalah selama ini?
- Dan lain sebagainya.
Sehingga jika masing-masing pasangan mengenali kebiasaan dan sifat calon istri atau suaminya, ia memiliki bahan untuk saling menyesuaikan diri.
2. Tafahum
Tafahum adalah saling memahami. Setelah masing-masing pasangan saling mengenal, maka tahapan selanjutnya adalah saling paham, mengerti, dan menyesuaikan diri kebiasaan masing-masing. Sehingga semua masalah yang hadir dapat dihadapi dengan tenang karena masing-masing mengetahui cara pandangnya.
3. Ta’awun
"Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Q.S. At-Taubah: 71)
Ta’awun berarti saling menolong. Seperti ayat di atas, suami/isteri adalah penolong bagi pasangannya. Keduanya berkewajiban untuk saling mengingatkan dalam kebenaran dan kebaikan dengan penuh kasih sayang.
4. Takaful
Takaful artinya penyeimbang. Pasangan suami isteri harus menjadi penyeimbang dari kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kekurangan yang dimiliki isteri hendaknya dilengkapi oleh kelebihan yang dimiliki suami, begitu pun sebaliknya. Suami istri sama-sama berproses untuk saling melengkapi, dan saling menyempurnakan dalam rangka membina rumah tangga yang diridhi Allah SWT. (Rina M. Taufik/muslimfamilia.com)
0 comments:
Post a Comment